Tradisi Macapatan di Jawa dan Madura

Jan Harold Brunvand (dalam Danandjaya, 1991:146-147) menjelaskan bahwa nyanyian rakyat yang berfungsi adalah nyanyian rakyat yang kata-kata dan lagunya memegang peranan yang sama penting. Disebut berfungsi karena baik lirik maupun lagunya cocok dengan irama aktifitas khusus dalam kehidupan manusia.

Di Madura, khususnya di wilayah Kabupaten Sumenep terdapat tradisi macapatan (mamaca). Menggejala dan hidup di wilayah perkotaan maupun pelosok pinggiran. Tradisi ini diselenggarakan dalam rangka arisan, upacara pembawa berkat di makam keramat (rokat bhuju’), di rumah pribadi (rokat bengko), upacara sunat atau khitan (sonnat), perkawinan (penganten), pangur gigi (mapar gigi), nazar, memperingati hari raya Islam, dan acara nujum. Pembacaan tembang macapatan ini diikuti dengan tukang tegghes sebagai penerjemah isi tembang. Tukang tegghes digunakan, karena tembang yang dibaca diyakini menggunakan bahasa Jawa Kuna dalam tulisan Arab Pegon dan perlu dijelaskan kepada pendengar.

Untuk rokat dan niyat, acaranya berlangsung dari pukul 22.00 WIB sampai dengan pukul 04.00 WIB keesokan pagi hari dan teks yang bersangkutan dibaca secara keseluruhan. Sementara arisan, acaranya lebih pendek, antara pukul 21.00 WIB sampai dengan 23.00 WIB dan yang dibacakan hanyalah fragmen dari teks yang dirujuk.

Terdapat bentuk-bentuk mitos macapatan (mamaca) yang diyakini pelaku maupun masyarakat pendukungnya. Penggunaan instrumen seperti musik suling dan gamelan hanya bisa digunakan untuk tembang-tembang tertentu, dan tidak bisa digunakan untuk tembang dalam cerita Hadis Norbhuwat Nabbhi, Nabbhi Mohammad, Nabbhi Yusuf, dan Isra’ Mi’raj. Diyakini akan muncul malapetaka jika cerita-cerita dalam tembang tersebut diiringi dengan musik instrumen, seperti suling dan gamelan.

Di samping itu, tradisi melihat perjalanan nasib dan masa depan seseorang melalui bentuk ramalan juga dilakukan dalam tradisi macapatan ini. Para pewaris menyebut dengan istilah mokka’ oghem. Setelah pembacaan kitab macapat selesai, penonton atau pendengar  bisa  menanyakan segala hal yang berkaitan dengan perjalanan karier, nasib, keluarga, dan lain-lain. Pertanyaan tidak disampaikan secara vulgar, cukup diucapkan dalam hati. Penanya diminta membuka kitab tembang (serat yusuf)-diikuti dengan pemberian tebusan sesuai dengan keikhlasan penanya-kemudian sang ahli membacakan, ditegaskan oleh tokang tegghes dan ditafsirkan. Penafsiran itu dilakukan dalam rangka menerjemahkan makna-makna yang terdapat dalam tembang tersebut dan kaitannya dengan isi pertanyaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.