Demikian pula tradisi macapatan di Jawa dilaksanakan sebagai bagian dari perayaan suatu acara, sebagai hiburan pribadi, dan aktivitas lainnya sebagai seni pertunjukan (Arps, 1961:3). Mitos yang muncul juga sama dengan keyakinan masyarakat pendukungnya di Madura, yaitu akan lahir malapetaka karena menggunakan instrumen untuk tembang-tembang tertentu. Namun tradisi pembacaan tembang di Jawa tidak menggunakan tukang tegghes sebagaimana macapatan di Madura.
Persamaan kedua tembang dalam tradisi macapatan itu tidak lepas dari pencipta dan penulisnya. Penulis-penulis pesisir yang pada umumnya para wali dan ahli tasawuf terkemuka, seperti Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunanan Panggung, dan Syekh Siti Jenar memiliki peran yang cukup besar dalam melahirkan tradisi lisan macapatan di Jawa dan Madura.
Pigeaud dalam Abdul Hadi WM menjelaskan bahwa Kegiatan sastra pesisir bermula di kota-kota pelabuhan Gresik, Tuban, Sedayu, Surabaya, Demak, dan Jepara. Di kota-kota inilah komunitas-komunitas muslim Jawa yang awal mulai terbentuk. Mereka pada umumnya terdiri atas kelas menengah yang terdidik, khususnya kaum saudagar kaya. Dari kota-kota ini kegiatan sastra pesisir menyebar ke Cirebon dan Banten di Jawa Barat, kemudian Sumenep dan Bangkalan di pulau Madura. Disebabkan mobilitas para pedagang dan penyebar agama Islam yang tinggi, kegiatan tersebut juga menyebar ke luar Jawa, seperti Palembang, Lampung, Banjarmasin, dan Lombok (http://suluk-batak.blogspot.com/2008/03/sekilas-suluk-jawa.html, 12 Desember 2009).