Tradisi Macapatan di Jawa dan Madura

Bentuk tembang tidak lepas dari struktur estetik puisi yang lebih menekankan pada ritme. Sedangkan isi tembang mengandung unsur ekstraestetik yang menunjukkan keluhuran budi penulisnya. Hampir semua tembang yang diciptakan melalui macapatan memiliki nilai profetik vertikal, maupun nilai sosial horisontal. Menggambarkan hablumminallah dan hablumminannas, termasuk latar belakang sosial budaya masyarakatnya.

Selain berisi puji-pujian juga berisi ajaran, anjuran serta ajakan untuk mencintai ilmu pengetahuan, ajaran untuk bersama-sama membenahi kerusakan moral dan budi pekerti, mencari hakikat kebenaran serta membentuk manusia berkepribadian dan berbudaya. Melalui tembang ini setiap manusia diketuk hatinya untuk lebih memahami dan mendalami makna hidup. Syair tembang macapat merupakan manivestasi hubungan manusia dengan alam, serta ketergantungan manusia kepada Sang Penguasa Alam Semesta.

Baik teks maupun konteksnya dinilai memiliki kesamaan antara tembang macapat Madura dengan tembang macapat Jawa. Menurut Bouvier (2002:160) semua peneliti sepakat bahwa kesenian mamaca Madura berasal dari Jawa. Menurut Pigeaud asal itu harus dicari, untuk Jawa Timur pada zaman pra-Islam, yaitu sebelum abad ke-15. Menurut Munardi, dkk, di Madura mamaca menggunakan buku berbahasa Madura dan Jawa, dan dengan huruf Jawa ataupun Arab. Bouvier menyaksikan sendiri penggunaannya ditulis di dalam bahasa Jawa Kawi, dan beraksara Arab. Imron menyebutkan bahwa korpus tembhang lebih luas daripada yang saya saksikan. Beberapa tembhang, menurutnya, ditulis di dalam bahasa Madura dan berasal dari awal abad ke-20. Namun ia juga menegaskan  bahwa tembhang yang paling populer dipinjam dari kesusastraan Jawa.

Bouvier (2002:160) menjelaskan lebih lanjut, kelangkaan kreativitas sastra di dalam bahasa Madura di keraton Sumenep agaknya menjadi penjelasan mengapa buku-buku yang tersebar di desa-desa ditulis dalam bahasa Jawa, yang tampaknya merupakan hasil salinan teks-teks keraton. Oleh karena mamaca berdasarkan pembacaan teks tertulis, renaisans kesusastraan Madura dalam bahasa Madura, pada awal abad ke-20, hanya terjadi di kalangan cendekiawan Sumenep dan sama sekali tidak menyentuh desa-desa.

Di Gresik, lahirnya tradisi macapatan tidak lepas dari peran para wali sanga dan ahli tasawuf  yang melakukan syiar agama Islam di pesisir utara. Peran wali sanga yang tiada henti dengan semangat profetik menyebarkan ajaran-ajaran Islam sampai di Sumenep, telah melahirkan tembang-tembang macapatan sebagai sarana untuk meyakinkan masyarakat dalam melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang hakiki.

Tembang macapatan yang lahir di Sumenep dan Gresik memiliki karakteristik yang sama ditinjau dari karakteristik teks. Karakteristik itu, seperti penggunaan (1) gatra, (2) guru lagu, (3) guru wilangan, (4) watak tembang, dan (5) pedotan. Namun dalam pembacaan tembang, tradisi macapatan di Sumenep menggunakan tokang tegghes sebagaimana dijelaskan di bagian awal, sedangkan di Gresik tanpa hal tersebut.

<

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.