Namun persoalan yang perlu dipertanyakan, sejauh mana pertahanan dan penguatan masyarakat setempat mampu mengelaborasi budayanya sendiri. Kalau kita perhatikan, mundurnya apresiasi masyarakat terhadap budaya daerah, bukan lantaran tekanan luar, tapi justru ketidak pahaman masyarakat terhadap Madura. Madura dipahami sebagai tempat mereka lahir, berdiam dan berkembang. Hal ini utamanya terjadi pada generasi akhir, ditambah lagi pihak berwenang, pemerintah setempat terlibat juga dalam posisi ini, yakni kurang memahami hakikat kebudayaan daerah sendiri.
Pemerintah cenderung menafikan nilai-nilai yang ada dalam budaya daerah, mereka mahami budaya sebagai bentuk yang tampak, seperti kesenian ayau pertunjukan kesenian yang salah satunya untuk kepentingan pariwisata.
Kenapa budaya luar tidak akan mengancam (jika tidak mengancam)?
Ingat, budaya Madura tidak lahir sendirian. Artinya kelahiran ini juga ada pengaruh bahkan ada beberapa mengadopsi dari daerah lain, kemudian dikuatkan sesuai kondisi setempat dan dijadikan budaya daerah. Sebagai misal, kearifan lokal (folklore) dalam bentuk permainan anak-anak, nyata-nyata mengandung unsur nilai pendidikan yang cukup tinggi, namun kalau kita telusuri ternyata sebagian terdapat kesamaan permainan anak dari luar, misal; Jawa atau wilayah lainnya.
Jadi saling mempengaruhi antara budaya daerah itu pasti terjadi, apalagi etnik Madura yang suka merantau pada saat kepulang mereka akan membawa “oleh-oleh budaya baru” yang selanjutnya disinergikan dengan kondisi Madura.
Budaya apakah yang akan terancam di Sumenep (jika mengancam)?
Dalam era globalisasi yang ditandai menguatnya media informasi dan publikasi melalui media digitall ini kehawatiran itu pasti terjadi. Bisa jadi kehawatiran itu menjadi ancaman bagi fenomena kehidupan budaya masyarakat, yang cenderung mengarah pada persoalan prilaku, adat-istiadat serta etika estetika orang Madura.
Kita tahu bahwa kearifan lokal masyarakat Madura merupakan pola yang mendorong tumbuhnya nilai kebersamaan, solidaritas, tenggang rasa serta saling menghargai antar sesama. Namun dalam fenemona tearkhir hal macam ini mulai dinafikan oleh sejumlah komunitas masyarakat dan bisa jadi akan melahirkan “ketegangan komunikasi”. Dan kalau ini tidak dijaga bersama, akan berpengaruh pula dalam gerak kehidupan lainnya.
Sebagai misal falsafah “bhapa’, bhabu’, ghuru, rato”, ada pihak menyebut “tunduk dan taat” pada tokoh sentral kita, tapi menurut saya, seharusnya dipahami sebagai nilai kebersamaan dan saling memahami. Jadi sebagaimana diisukan selama ini, posisi “rato” misal, diiplementasi sebagai “penguasa” yang memiliki otoritas penuh sebagaimana jaman dulu. Nah mainsed inilah yang perlu diubah, karena jaman sekarang beda dengan jaman masa lampau. Keterbukaan dan kejujuran harus diutamakan setiap ada gerak langkah pembangunan.