Tradisi; Martabat Masyarakat Madura

syaf_anton_wr
Syaf Anton Wr

Strategi apakah yang akan dilakukan budayawan dalam mengokohkan dan melestarikan budaya Sumenep?

Titik awal yang perlu digarap adalah masalah kebahasaan. Bahasa ibu. Bahasa daerah Madura. Ini menurut saya penting, karena apapun alasannya, bahasa ibu merupakan bahasa komunikasi kebudayaan daerah Madura. Ketika kebahasaan ini mulai luntur, dengan otomatis pemahaman dan apresiasi terhadap budaya daerah akan lemah.

Selain itu, dalam konsep pengokohan dan pelestarian budaya Sumenep, butuh keperhatian penuh, baik dari masyarakat, apalagi pemerintah. Jadi dalam konsep ini tampaknya perlu motivasi semua pihak untuk menggerakkan kebudayaan Sumenep melalui pembinaan dan pengembangan. Pembinaan yakni pembangunan komunikasi dan motivasi kepada masyarakat, khususnya pada pelaku budaya. Disini pemerintah berfungsi sebagai fasilitor semua hal terkait dengan pembinaan. Sedang pengembangan, penyediaan sarana dan prasarana sebagai wahana eksplorasi budaya, baik dalam bentuk penelitian, penelusuran, ekspresi maupun eskplorasi budaya.

Budaya luar apakah yang akan mengancam?

Bisa saja jadi ancaman itu ada, tergantung sekuat apa kita membentengi diri. Untuk ini sering saya sampaikan, penguatan nilai budaya perlu dikembangkan khususnya bagi generasi muda. Kaum muda inilah yang kerap terjebak dalam pola hidup instan, mudah mencontoh dan kadang latah dalam menyerap budaya baru.

Juga sering saya tekankan, bahwa harapan terakhir untuk membentengi budaya Madura adalah dunia pesantren. Karena dalam pesantren inilah ajaran-ajaran kearifan banyak ditanamkan.

Menurut bapak, apakah visit Sumenep 2018 akan sukses? Alasannya!

Secara spesifik sebenarnya saya tidak banyak memahami hal itu, apa dan kemana orientasi visit Sumenep 2018. Tapi menurut saya, program ini terasa bombastis tanpa pertimbangan matang. Ciri pemerintah Sumenep memang selalu begitu terkait pengembangan kebudayaan dan kepariwisaan. Target yang jadi tolok ukur dalam benak mereka selalu finansial, tanpa mempertimbangkan kondisi riil yang terjadi di tengah masyarakat.

Bahkan saya khawatir kedatangan  para wisatawan, apalagi wisatawan manca bertentangan nilaii budaya Sumenep, yang taat pada etika moral dan agama. Bila hal ini terjadi persoalan akan jadi runyam dan justru merugikan masyarakat sendiri.

Kabarnya visit Sumenep 2018 punya target mendatangkan 10 juta wisatawan dengan menghasilkan nominal yang cukup besar. Itulah yang saya sebut bombastis tanpa mempertimbangakn kondisi masyarakt Sumenep sebagai tuan rumah. Saya khawatir, jangan-jangan ada sejumlah protes terhadap kebijakan ini, karena jauh dari realitas yang ada.

Sisis lain, semua mengakui, Sumenep memiliki obyek wisata yang baik, baik wisata pantai, alam, peninggalan maupun tradisi budaya. Namun selama ini keunggulan tersebut “ditelantarkan” begitu saja ketika menggarap proyek wisata baru. Contoh saja, pada akhir 80-an pantai Selopeng pernah booming, namun ketika menemukan pantai Lombang, Salopeng dibiarkan begitu saja. Lombang tidak dikelola secara profesional, kemudian muncul Giliyang, Gili Labek, Pantai Sembilan dan Kahuripan di Giligenting. Akibatnya proses pengembangannya setengah-setengah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.