Dari Leluhur
Bila pada Nyadar pertama dan kedua dilakukan di sekitar asta Syeh Anggasuto, Syeh Kabasa, Syeh Dukun, dan Syeh Bangsa yang ada di Desa Kebundadap Barat, pada Nyadar ketiga dilakukan di desa Pinggir Papas.
Konon hal ini juga berangkat dari nadar Syeh Dukun, yang juga ingin melakukan syukur tetapi hanya di lingkungan rumahnya (dalam Bahasa Madura disebut bengko) atau diantara keluarganya sendiri. Namun demikian ada yang khas dari pelekasanaan Nyadar ketiga ini.
Di Nyadar ketiga ini, pada malam harinya biasanya diikuti dengan kesenian mocopat atau membaca layang. Dimana tulisannya masih menggunakan tulisan Jawa kuno dengan media daun lontar. Jalannya cerita dalam mocopat tersebut, yang pertama adalah Jati Suara. Cerita Jatiswara ini mengisahkan jalannya nyawa dan raga dari perjalanan hidup manusia. Kemudian yang kedua ceritanya Sampurnaning Sembah. Yang kedua ini lebih mengisahkan jalannya bakti manusia kepada sang Pencipta, atau hal Syari’at.
Mungkin ada yang penasaran bagaimana asal mula Nyadar. Untuk menjawab hal itu, Mossaik sempat menemui Satija, salah satu sesepuh adat. Sebelum menuturkan kisah sepanjang yang diketahuinya, pria 64 tahun ini berulang-ulang menegaskan bahwa yang akan diceritakannya itu adalah juga berdasar dari cerita ke cerita dari pendahulunya.
Karena memang tidak ada goresan catatan yang secara lengkap merekam asal mula Nyadar. ”Ini katanya, saya sendiri tidak tahu, karena itu sudah terjadi sejak ratusan tahun silam,” tegasnya. Asal mula Nyadar menurut Satija, karena seorang, yang kemudian dia sebut dengan ahli cipta, di Pinggirpapas.
Dia adalah Anggasuto, pada suatu malam melakukan Istigharah. Memohon kepada Tuhan yang maha Esa, jika dia memang ditakdirkan hidup di daerah tersebut. Apa yang bisa dijadikannya sebagai sumber hidup atau mata pencaharian baginya. Sebab di daerah tersebut adalah daerah pesisir pantai. Yang bisa dibayangkan bagaimana kondisinya.
Konon, Tuhan mengabulkan dan memberinya petunjuk. Anggasuto semacam diminta untuk berjalan menuju pesisir pantai. Pada suatu waktu, Anggasuto berjalan ke arah pantai. Karena tanah di pantai itu begitu lembek, hingga membentuk tapak kakinya. Selang waktu berjalan, bekas tapak kaki tersebut terisi oleh air laut.
Beberapa hari kemudian, Anggasuto kembali berjalan ke arah pantai. Dia memperhatikan sesuatu di bekas tapak kakinya itu. Dijumpainya bekas tapak kaki itu dipenuhi oleh benda yang berwarna putih. Anggasuto sempat bertanya-tanya dalam hati. Apa gerangan benda putih tersebut? Adakah benda putih itu adalah