Akhir kata, benda itu kemudian oleh Anggasuto disebut dengan Buja, yang merupakan istilah bahasa Madura untuk garam. Maka, hingga sekarang benda itu dikenal dengan nama buja atau garam. Kabarnya kisah itu sudah tersiar ke segala penjuru daerah. ”Ini berarti garam merupakan temuan Anggasuto,” tegas Satija lagi.
Seiring perputaran jaman, temuannya itu ternyata memberi manfaat bagi seluruh manusia di penjuru Nusantara. Dimana pola mata pencaharian sebagai petani garam kemudian juga dilakukan oleh beberapa masyarakat di daerah lain seperti di Bali dan Sumatera.
Dan waktu terus berjalan, orang-orang di daerah Pinggirpapas masa itu, dengan bimbingan Anggasuto terus mempelajari bagaimana memetak tanah untuk ladang garam. Selain itu juga cara memindah-mindah air laut.
Dari air kesatu hingga air kedua puluh lima yang baru menjadi garam. Yang dimaksud disini adalah kadar air. Kemudian daerah tersebut disebut dengan padaran atau sekarang dikenal dengan talangan. Maka jadilah daerah tersebut dengan hamparan ladang garam, dan mayoritas masyarakatnya mempunyai mata pencaharian sebagai petani garam.
Konon setelah garam-garam itu menunjukkan hasil, Anggasuto sebagai manusia yang senantiasa tidak lupa pada sang pemberi rejeki. Suatu ketika dia pun bernadar, setiap jatuh pada bulan dan tanggal panas matahari (masuk musim kemarau) akan melakukan Nyadar, semacam bakti syukur atas anugerah yang diberikan Tuhan. Maka jadilah dilakukan upacara Nyadar pertama.
Dalam perjalanan waktu adik dari Anggasuto, Kabasa, juga melakukan nadar yang sama. Maka jadilah upacara Nyadar yang kedua. Yang waktunya satu bulan berselang setelah Nyadar pertama dilakukan. Demikian halnya pada pelaksanaan Nyadar ketiga, yang merupakan nadar dari Dukun. Berdasar referensi dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep menyebutkan Syeh Dukun ini adalah pembantu Anggasuto yang berasal dari Banten
Demikian menurut Satija asal mulanya Nyadar yang sangat terkait dengan asal mula ditemukanya garam. Secara umum, Nyadar sendiri adalah semacam Syukuran/Haul atau mensyukuri anugerah yang telah diberikan oleh Tuhan.
Sehubungan dengan keramaian yang mengiringi upacara adat ini awalnya adalah orang Pinggirpapas sendiri yang datang ke Desa Kebundadap bahkan bermalam di sana. Sementara pada malam hari biasanya dilokasi juga akan ramai. Di areal tersebut tiba-tiba berubah bak pasar malam. Banyak orang berjualan dan juga banyak orang berdatangan dari berbagai penjuru daerah.
Memang sekilas di area dekat asta itu mirip dengan pameran. Beberapa pedagang dadakan datang dan menggelar dagangannya. Ini yang kemudian menjadi hiburan alternatif bagi masyarakat sekitar. Pengunjung pun berjubel, ada yang membeli beberapa barang atau sekedar jalan-jalan biasa.-az alim
kses : http://pusakanesia.blogspot.com/