Di pintu inilah yang kelak akan terjadi peristiwa dramatis. Dimana para peziarah ini akan berebut masuk. Karena keyakinan mereka, barang siapa yang bisa lebih dulu masuk dan segera memanjatkan doa di depan makam atau pasarean leluhur mereka, doanya akan terijabah. ”Rasanya lebih afdol kalau bisa masuk lebih dahulu Mas,” ujar salah seorang peziarah.
Terik matahari masih menyapu kawasan yang berada di bibir sungai Sarokah itu. dan orang-orang masih terus berdatangan. Ada yang melalui jalan darat, ada pula yang datang dengan perahu. Hingga dua jam berikutnya belum tampak ritual segera mulai.
Namun beberapa saat kemudian, tampak beberapa orang datang, tanpa sepatah kata mereka langsung mengambil posisi bersilah di depan pintu yang masih tertutup rapat. Kesibukan lain ada di pendopo kecil yang letaknya berhadapan dengan pintu asta.
Di sana terdapat begitu banyak bungkusan daun pisang yang berisi bunga untuk ziarah. Bunga-bunga itu berasal dari para peziarah yang sempat datang ke sana atau mereka yang tidak bisa datang sekedar titip doa dengan mengirimkan bunga-bunga itu. Konon, segala doa yang kelak dibacakan oleh pemuka adat adalah bukan untuk sebagian orang atau kalangan tertentu. Tetapi doa mereka adalah untuk seluruh umat manusia.
Bunga-bunga itu kemudian dijadikan satu. Tak kurang dari 20 orang wanita paruh baya yang membuka bungkusan bunga itu. kemudian ditumpuk dalam wadah besar untuk kemudian dibawa masuk dan diletakkan di masing-masing makam leluhur mereka. Ribuan doa dan harapan membubung menyatu dalam tumpukan bunga yang menebar aroma semerbak itu.
Orang-orang yang sudah duduk memadati pelataran asta tetap dengan diamnya. Suara yang ramai dan justru menggangu adalah berasal dari para penjual ice cream. Namun para peziarah dan pemuka adat yang mulai melakukan ritual itu sedikit pun tidak merasa terganggu.
Tepat jam 16.00 WIB, setelah beberapa ritual pendahulu dilakukan, dan pintu asta pun dibuka. Tak ayal par peziarah pun sontak berebut masuk. Mereka yang rata-rata pria dewasa berdesak-desakan untuk menjadi yang pertama mencapai pasareyan atau makam leluhur mereka. Sedangkan yang wanita memilih menunggu, dan masuk setelah kondisi agak longgar.
Benar saja, dengan ribuan orang yang berebut masuk, sementara pintu yang akan dilewati begitu kecil, beberapa diantara mereka adaya yang terjungkal karena terdorong oleh yang lain. Namun tiada emosi diantara mereka. Yang ada hanya hasrat supaya lebih dulu mencapai pasareyan leluhur, agar segera mengiring doa bersama pribadi luhur yang telah lebih dahulu menghadap Sang Khalik itu.
Itu merupakan puncak ziarah pada tradisi Nyadar di hari pertama. Di sekitar lokasi Bujuk Gubang masih juga ramai. Walau perlahan peziarah mulai meninggalkan asta, namun masih ada saja beberapa yang datang. Bahkan hingga mentari telah turun di peraduannya masih ada saja yang tetap berkirim doa, atau sekedar membaca Al Qur-an.