Tradisi Nyadar : Titip Doa lewat Bunga

Kaoman
Senja datang, tak juga menyurutkan orang yang datang di lokasi Nyadar. Malam hari menjadi waktu lain yang menyenangkan, terutama bagi kaum mudanya. Pasar malam dadakan yang hanya semalam menjadi arena refresing bagi mereka. Layaknya pasar malam, setidaknya mereka bisa cuci mata atau mendapatkan barang-barang kebutuhan dangan harga pameran.

Sementara bagi penduduk sendiri malam itu akan digunakan untuk memasak makanan guna persiapan untuk acara haul keesokan harinya. Tradisi yang ada, tidak ada seorang pun yang memulai memasak bila ketua pemuka adat belum memulai menyalakan api di tungkunya.

Malam itu Mossaik berada di rumah Ramana Kasa, 80 tahun, -lah ketua pemuka adat yang merupakan generasi kesembilan dari Syeh Kabasa. Beliau sudah 12 tahun berjalan memegang tampuk pimpinan pemuka adat yang ternyata ditentukan secara turun-temurun itu.

Di halaman rumah beliau sudah siap lima buah tunggu dari tanah liat. Menurut Mbah Kasa, untuk sekedar menyalakan api di tungku itu saja ada orangnya sendiri. Dan tidak bisa sembarang orang boleh melakukannya. Termasuk ketika beliau diminta untuk bercerita tentang Nyadar. Menurutnya itu sudah ada bagiannya sendiri-sendiri. Menurutnya setelah api tungku di rumahnya mulai menyala, maka akan diikuti oleh nyala api di tungku di rumah-rumah penduduk yang lain.

Memasak makan akan dilakukan malam itu, hingga semua siap walau itu akan memakan waktu semalam suntuk. Semua demi persiapan haul yang akan dilakukan besok pagi di areal lapang sekitar 100 meter dari pelataran asta.
Keesokan hari, sekitar jam 07.00 WIB Mossaik sudah berada di lokasi kembali. Tampak masyarakat sudah banyak, berdiri di bagian pinggir sambil menunggu detik-detik acara Kaoman dimulai. Di tengah halaman sudah tampak. Beberapa orang pemuka adat duduk dengan pakai hitam dan mengenakan udeng khas mereka berwarna gelap.

Seperti kemarin, mereka juga diam tanpa kata. Hanya melayani dengan salaman bila ada orang yang datang. Mereka tampak begitu berkonsentrasi, atau mungkin sedang membaca doa tertentu. Di sekitar mereka juga sudah banyak orang peserta haul yang duduk dan dihadapan mereka terdapat Panjeng (piring kuno yang berukuran besar) yang menjadi wadah makanan yang mereka masak semalam. Panjeng itu mereka tutup dengan Tanggik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.