Tradisi Nyadar : Titip Doa lewat Bunga

Sedikit kisah tentang panjeng, konon mereka yang memiliki panjang tersebut masih mempunyai darah keturunan dari para leluhur tersbut. Siapapun mereka yang memiliki panjang akan datang dan ikut dalam upacara Nyadar. Menurut Satija, seorang sumber Mossaik, pada tahun kemarin saja terdapat sampai ratusan panjeng. Dan pemilik panjang ini ada juga yang berdomisili di luar daerah, dan mereka akan datang ketika perhelatan Nyadar tiba.

Di dalam panjeng tersebut berisi nasi, di atasnya terdapat ayam goreng dan dihiasi lembaran telur dadar yang diiris. Cukup banyak panjeng yang tampak pagi itu. Di sampingnya juga tampak beberapa orang sedang menunggu.
Tepat jam 08.00 tampak empat orang berdiri dengan pakaian khas, yang mereka sebut dengan Rasogan Racok Saebu. Mereka kemudian berjalan menuju asta. Setelah melakukan beberapa ritual di sana, mereka yang ternyata disebut sebagai penghulu itu kembali ke area haul. Tampak pula mereka mengitari arena, seakan mereka menghitung jumlah panjeng yang ada.

Beberapa saat kemudian salah seorang pemuka adat tampak memimpin doa. Dan semua orang yang ada di sana mengamini. Cukup panjang doa yang dibaca, hingga panas sengatan matahari yang mulai tinggi pun tiada terasa. Setelah doa selesai, serentak tanggik itu dibuka. Dan mereka yang ada disekitar panjeng itu menyantab nasi yang ada di dalamnya. Tidak banyak, hanya satu-dua suap saja.

Ini merupakan akhir dari haul atau kaoman di upacara adat Nyadar. Berikutnya, makanan yang da di panjeng itu mereka masukkan ke dalam bakul besar yang sudah mereka siapkan sebelumnya. Setelah itu segera mereka bawa pulang ke rumah masing-masing di Pinggir Papas dan sekitarnya.

Dan tampak mereka bergegas, mereka yang menggunakan jalan darat akan segera naik ke mobil yang mereka siapkan sebelumnya. Sementara mereka yang menggunakan jalur sungai, akan segera menuju bibir sungai untuk antri menunggu perahu-perahu yang memberikan jasa nyeberang di sungai Sarokah itu.

Nyadar, kini sudah jadi tradisi. Tidak hanya milik orang Pinggir Papas, tetapi sudah menjadi kekayaan budaya dan tradisi di ranah Sumenep. Tinggal bagaimana kita menjaga keabadian tradisi ini. Semua kembali kepada niat hati untuk tetap tulus menghormati leluhur dan tetap menjaga jati diri.-az alim

*Dimuat di Majalah Mossaik, 

Akses: http://pusakanesia.blogspot.com/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.