Tradisi ritual samman sebenarnya tetap eksis di empat kabupaten yang ada di Pulau Madura, walaupun frekuensi tradisi ritual samman sekarang telah berkurang. Salah satu penyebabnya tentu sudah bisa ditebak, yaitu perkembangan jaman dengan budaya modernismenya dan perkembangan industri dengan penemuan sains-teknologi yang begitu cepat merasuki kehidupan keseharian masyarakat Madura, sehingga bentuk kesenian tradisonal, seperti samman menjadi termarjinalkan.
Tradisi ritual samman dalam pandangan masyarakat Madura merupakan salah satu bentuk kesenian tradisional yang selalu menampilkan aspek gerak dan suara. Tradisi ritual samman di samping memuat unsur nilai estetis, juga mengandung nilai religius. Bahkan para kyai berpendapat bahwa samman adalah bagian dari tarekat, karena prosesi ritual samman selalu berisi pujian terhadap Allah swt secara berulangulang.
Apalagi jika syair pujian tersebut diamalkan, direnungkan, dan dihayati secara mendalam, hampir pasti akan mendatangkan efek kenikmatan batin yang luar biasa dahsyatnya dalam rangka menuju ekstase religius. Dengan demikian seluruh prosesi tradisi ritual samman yang telah lama dipraktikkan secara turun-temurun memiliki tiga aspek penting, yaitu bacaan, gerakan, dan formasi.
Salah satu prosesi dalam tradisi ritual samman adalah suara yang ditampilkan merupakan lantunan pujian suci (dzikir) yang dilantunkan secara berulang-ulang, berirama, dan bersama-sama dalam satu kelompok. Di antara dzikir yang selalu diucapkan adalah kalimat “lâ ilâha illallâhdan Allâh Allâh”. Dzikir tersebut di sebagian tempat di wilayah Madura seringkali berkolaborasi dengan alat-alat musik sederhana, seperti gendang dan rebana.