Upacara ruwatan bagi orang Jawa biasa dilaksanakan untuk orang-orang yang dipandang sebagai wong sukerta atau ‘orang panas’, ‘orang cemar’, atau ‘orang yang diancam Si Jahat’ (Banawiratma, 1990: 11). Kategori sukerta ditilik dari dua hal yaitu sukerta karena kelahirannya dan karena perbuatannya. Selanjutnya untuk pelaksanaan upacara ruwat sukerta biasa dilakukan dengan pertunjukan wayang kulit dengan lakon Murwakala yang menampilkan tokoh Batara Kala sebagai Si Jahat pengancam wong sukerta. Di Madura dalam hal pandangan mengenai sukerta sama dengan Jawa, namun pelaksanaan upacara dengan pertunjukan lakon Murwakala dilaksanakan dengan pertunjukan bajang topèng (wayang topeng).
Seni pertunjukan wayang topeng Madura mirip dengan pertunjukan wayang kulit dan wayang orang. Penyelenggaraan pentas wayang topeng dibutuhkan seorang dalang seperti halnya peran dalang wayang kulit, ia menguasai seluruh pentas lakon. Dalang wayang kulit menggerakkan boneka wayang dari kulit tetapi dalang wayang topeng mengatur dan mengendalikan para pemain wayang yang menggunakan topeng. Seluruh pemain wayang topeng tidak boleh berbicara kecuali pemeran Semar. Di daerah Bondowoso, Probolinggo, dan Lumajang, wayang topeng Madura ini ada yang menyebut Topèng Kertè, sedangkan di Madura selain sebutan bajang topèng ada pula yang menyebut tatopong, topèng dhalang.
Semua pemain wayang topeng mengenakan topeng atau tokop yang disesuaikan dengan karakter masing-masing dan yang istimewa adalah semua pemain laki-laki. Perangkat gamelan yang digunakan berlaras salendro yang terdiri atas gambang, kendang, gender babuk dan penerus, saron peking, saron I dan II, slenthem, kenong, dan gong. Adapun karakter tari yang dibawakan oleh peraga antara lain: tandang kasar (tari kasar), tandang magdaran (tari pagelaran), tandang satrèya (tari ksatria), tandang baranya’ (tari baranyak), tandang motak (tari kera), tandang alos (tari halus), dan tandang potrè (tari putri).
Pertunjukan wayang topeng ini pada umumnya dilaksanakan pada upacara rokat pandhaba (ruwat pandawa), yakni ruwat bagi orèng sukerta, terutama orang yang tergolong dalam kategori sukerta karena kelahirannya sebagai Pandhaba Macan. Ciri-ciri Pandhaba Macan antara lain anak-anak kembar, kategori pandhaba panganten, tèng-antèng (anak tunggal), pandhaba lèma’ (lima bersaudara laki semua), pandhaba tangès (salah satu dari lima bersaudara meninggal dunia), atau pandhaba èrèt (lima bersaudara; 4 laki, satu perempuan atau 4 perempuan satu laki). Namun demikian, kategori sukerta lainnya pun perlu dirokat.
Perlengkapan sesaji (sajjhin) dalam ritual rokat antara lain: bhabhang daun (daun bawang), bherras potè (beras putih), bherras konèng (beras kuning), jaghung (jagung), geddhang soso (gedang susu), tebu, lepet, ghellung teleng, topa’ (ketupat), ikan laut, kocor (kue kucur), tellor, lopès, jhajhan pasar, dhamar kembhang, karopok, ajam panggang, ajam pottè, tompeng, tèker, bhantal, panebbha, roma-roma’an sè tadha’ tong-antongnga (miniatur rumah tanpa tutup keyong), blacu, apen, aèng somber ban aèng lao’ (air laut), minyak wangi, bedak, sapu tangan, kuali, kendi, ember, gayung, tempayan, gula, garam, minyak kelapa, bawang putih, dan bawang merah, seutas tali, tomang (sejenis anglo), sobbluk/rabbhunan (kukusan), gangsèyan (batu asah), saropong (potongan bambu serombong), dan lain-lain.