Kenyataan pelaksanaan rokat di masyarakat Madura ternyata tidak terbatas pada lingkup sukerta yang melekat pada seseorang namun melingkupi beberapa aspek di luar individu, yakni komunal. Artinya, pelaksanaan rokat dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni yang menyangkut masalah pribadi seseorang individu dan masalah kelompok atau kolektif. Di bawah ini dapat dilihat lewat bagan kategori rokat di Madura.
Jenis Rokat |
Rokat Komunitas/Kolektif |
Rokat Individual |
rokat tasè’ (ruwat laut) | rokat pandhaba | |
rokat bumè (ruwat bumi) | ||
rokat dhissa (ruwat desa) | ||
rokat gumba’ (ruwat riak air) |
Rokat tasè’ atau ruwat laut kedudukannya sama dengan upacara sedekah laut di beberapa wilayah pantai di Jawa, yaitu diselenggarakan pada awal musim panen ikan laut ( mosèm poco’) atau pada musim kapat (sekitar bulan Agustus) di beberapa wilayah pantai Pulau Madura seperti di desa Sotabar, Ketapang, dan Patondu. Upacara ini diselenggarakan pada hari Kamis malam Jum’at. Tujuan upacara untuk memohon kepada sè’ kobasa tasè’ (penguasa laut) agar memberi berkah keselamatan bagi para nelayan yang akan melaut menjala dan memancing ikan. Dalam kepercayaan tradisional para penguasa laut berujud Dhiba (dewa laut), tetapi setelah diinterpretasi dengan agama Islam menjadi Nabi Chidir. Upacara dilengkapi dengan sesajian dan doa panglobar (doa pengeluar, ‘pelepasan dari segala ancaman jahat’). Sesajian berupa buah-buahan, telor ayam, ayam, patung kambing, boneka manusia dari tepung, nasi putih, merah, hijau, dan hitam yang diletakkan ke dalam miniatur perahu dari gedobok pisang yang dirangkai dengan bambu dan tebu wulung.
Rokat bumè diselenggarakan oleh kolektif se desa untuk memohon keselamatan dari segala ancaman bahaya penyakit, hama tanaman, dan mohon kesejahteraan lewat keberhasilan panen bagi masyarakat tani di daerah pedalaman Madura. Pelaksanaan upacara diselenggarakan di sebuah perempatan jalan utama desa dengan makan bersama dan doa Sapujagad kepada Sè Nur Cahya Potè (Tuhan) dan kepada Sana’ kang empa’ kalèma Sahadat (empat saudara dan kelima batin), biasanya diselenggarakan pada bulan Sora, pada awal musim panen, atau pada awal musim hujan. Orang Madura memandang empat saudara sebagai sesuatu yang penting, yang dimaksud empat saudara berupa tamonè (tembuni, placenta), tontonan (tali pusar), totop (selaput lendir), dan orèh (gumpalan darah) yang keluar bersama bayi pada proses persalinan (tarètan sè apolong poros).
Sementara itu, yang disebut dengan rokat dhissa hakekatnya sama dengan rokat bumè atau kalau di Jawa setara dengan upacara bersih desa. Tujuannya untuk menolak bala, menghadirkan harmoni bagi kolektif dan keamanan, ketenteraman desa. Inti upacara lainnya dalam rokat bumè dan rokat dhissa adalah upaya manusia melawan empat nafsu yang berupa amarah (songar), supiyah (anyen), luwammah (lèrrè), dan mutmainah (soccè).