Sesaji terpenting berupa tajin yang disebut tajin Sora. Selama penyelenggaraan upacara rokat ini biasanya diramaikan pula dengan berbagai kesenian dan lomba seperti karapan sapi, mengadu anjing dengan babi hutan, dan okol.
Jenis Rokat Roma (ruwat rumah) dan Rokat Tanèyan (ruwat halaman rumah) dapat diselenggarakan atas prakarsa pribadi atau prakarsa kerabat. Ruwat rumah biasa dilaksanakan pada waktu akan menempati rumah baru, sedang ruwat halaman dilaksanakan untuk meruwat halaman rumah jika penghuni rumah sering merasakan gangguan fisik (sering sakit-sakitan) dan gangguan halus yang menimpa hampir seluruh isi rumah berupa disharmoni dan sejenisnya.
Jenis rokat gumbha’ merupakan upacara yang spesifik dilaksanakan di daerah Kabupaten Sampang. Kata gumbha’ secara harafiah berarti riak air atau mengaduk-aduk air kolam atau sungai hingga timbul ombak atau riak air. Istilah gumbak ini terkait dengan tradisi baceman yang berarti membersihkan dan mensucikan pusaka desa yang berjumlah 24 di desa Banjar, Kecamatan Kedungdung. Pusaka tersebut diyakini milik leluhur masyarakat setempat yang berkeahlian membuat senjata. Leluhur itu terdiri dari dua tokoh sakti yang mereka sebut Buju’ Toban dan Buju’ Bung Kènè’ . Ke duapuluh empat senjata tersebut konon dibuat dari tanah liat yang menjadi sangat kuat karena kekuatan sakti dan mantra-mantra kedua tokoh sakti itu. Fungsi pusaka itu sebagai pelindung kolektif dari ancaman binatang buas dan ancaman musuh. Upacara rokat gumbha’ biasa dilaksanakan bersama dengan upacara rokat dhissa setahun sekali yang ditetapkan di lokasi Buju’ Tenggina, tanah Galis atau tanah Paokalan (tempat pertarungan pendekar penjaga keamanan desa). Sesuai dengan sifat dan tujuannya maka penyelenggaraan upacara ini diikuti pula dengan lomba okol atau pertarungan yang menonjolkan bela diri.
Rokat Pandhaba seperti dijelaskan di atas merupakan upacara ruwat untuk manusia berkategori sukerta, baik karena proses kelahirannya maupun karena perbuatannya (menanak nasi tanpa tudung, memecahkan anglo, dan sejenisnya)
Dengan demikian dapat dipahami bagaimana masyarakat Madura sebenarnya masih sangat memperhatikan keharmonisan, keselarasan hidup secara pribadi maupun secara komunal dalam sebuah kolektif, di suatu tempat yang nyaman, aman, dan bebas dari ancaman apapun. Upacara rokat pada akhirnya berkembang meluas bersama dengan dimensi religiositas yang lebih Islami. Masyarakat mendinamisasikan doa-doa dan ungkapan kerohanian dan keseniannya dengan ekspresi keislaman yang secara khusus sebenarnya telah mendampingi bentuk upacara rokat, yaitu dengan sebutan upacara rasol. Selebihnya, masalah upacara rasol dapat dicermati di berbagai pelosok desa, baik di Madura maupun dalam masyarakat Madura perantauan, di luar Pulau Madura.
*)Dosen Fak. Ilmu Budaya UGM, jur. Sastra Jawa
Judul asli: Tradisi Ruwat Di Jawa Tradisi Rokat Di Madura, dari Majalah Tembi