Sejatinya, toron bukan sekedar mudik atau pulang kampung warga Madura perantauan saat lebaran Idul Fitri. Dan toron sendiri telah menjadi ritual tahuan yang dilakukan oleh para pendahulu mereka. Sehingga tak pelak bila saat-saat sepertiitu, Madura menjadi ramai dengan kehadiran para pendatang dari tanah rantau, mulai dari pelodok desa sampai kota. Dan disitulah mereka menunjukkan jadi dirinya dengan sejumlah kisah, bahwa perjuangannya selama di tanah rantau telah dibuktikan dengan hasil yang dicapainya.
Di jalan-jalan banyak bersliweran berbagai aktivas warga dari tanah rantau, dengan segala bentuk aktributnya, yang diharapkan menjadi decak kagum bagi saudara, kerabat maupun para sahabat. Hal ini tentu sangat wajar, kebanggaan ini merupakan media pembuktian diri, bahwa selama berjuang di tanah seberang telah banyak dilakukan dan dihasilkan.
Namun pada toron lebaran tahun 1441 H/2020 M ini, tidak lagi dapat dilakukan dan dinikmati seutuhnya, lantaran kebijakan pelarangan Pemerintah untuk mudik menjadi hambatan karena merebaknya kasus virus conona.
Hal ini tentu cukup menggelisahkan bagi warga Madura. Tardisi tahunan ini dirasa cukup hambar tanpa adanya ritual yang telah dibangun para pendahulunya sebagai aset kekembalian diri terhadap haribaan orang tua dan sanak keluarga. Toron tidak lagi menjadi peristiwa sakral karena batasan komunikasi terhalang oleh lintas waktu yang mereka nanti setiap tahunnya.
Mengapa toron menjadi “wajib”? ada alasan yang melatar belakangi bahwa tradisi toron tidak sekedar mudik atau pulang kampung, tapi lebih dari itu sebagaimana banyak dicontohnya para pendahulu orang Madura, bahwa hidup tidak sebatas di wilayah mereka dilahirkan, tapi dimana mereka berpijak, disitulah terhadap sumber kehidupan. Makanya untuk bertahan hidup harus diperjuangkan.
Dalam pegangan hidup orang Madura disebut; Sapa atanè bhâkal atana’. Sapa adhâghang bhâkal adhâghing (Siapa rajin bertani akan menanak nasi, Siapa berdagang akan berdaging (tubuhnya padat dan sehat). Jadi untuk bisa makan harus rajin berusaha dan bekerja. Kalau perlu dengan alako berrâ’ apello konèng, (bekerja keras berkeringat kuning).
Etos kerja orang Madura yang dinilai cukup besar dan kuat, umumnya menenun hasil yang cukup kuat pula, khususnya dalam mengemban tanggung segi jadi diri maupun ekonomi. Maka tak heran bila warga Madura rantau selalu menyisihkan hasil rezekinya dan dikumpulkan dan nanti mnjadi yang menjadi bekal untuk toron.
“song-osong lumbhung” atau sifat gorong, senasib sepenanggungan menjadi tolak ukur dalam menyatukan diri bagi sesama warga Madura lainnya. Hal ini dibuktikan bahwa setelah mereka hijrah ke rantau, dapat dipastikan akan menjadi mengajak kerabat yang lain, untuk bersama-sama mengadu nasib di tanah rantau.
Akhirnya tidak dapat dipungkiri, di kemudian hari mereka membangun komunitas sendiri dan tidak sedikit di sejumlah wilayah terdapat “kampung Madura”. Sifat memaksakan diri dan mudah beradaptasi dengan lingkungan barunya, orang-orang Madura rantau mampu berbaur dengan etnis lainnya.
Yang menarik, meski mereka bermukim di tanah rantau, namun tetap bertahan dengan nilai-nilai kemaduraannya, cara hidup, tradisi maupun dalam mengembangkan ekonominya. Akhirnya, dari sikap maduranya itu, sangat mudah dikenali oleh orang-orang sekitar; cara berbicara, berkomunikasi dan bersikap. Itulah kenyataan, bahwa – setidaknya setahun sekali – mereka berharap bila kembali ke haribaan keluargnya di tanah asal, yakni Madura.
Namun kenyataan menjadi lain, ketika merebaknya sebaran virus corono – Covid 19 – meraka harus mengalah untuk bertahan di tanah rantau, meski tidak sedikit yang memaksakan diri pulang mudik, meski dengan berbagai resiko yang dihadapinya.
Dari “kasus” ini ada pihak yang menghawatirkan, dari ketidak-toron-an warga Madura rantau, akan berimbas pada nilai toron itu sendiri. Namun pada sisi yang lain, bahwa mudik atau toron bagi Madura, tidak hanya dilakukan saat lebaran Idul Fitri, masih ada waktu yang lain, yakni Hari Raya Idul Adha dan saat peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW. (Syaf Anton Wr/Lontar Madura)