Penyelenggaraan pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang sangat enting dalam adat istiadat masyarakat Sumenep. Kabupaten Sumenep memiliki potensi wisata yang sangat besar. Keadaan tersebut menjadikan Kabupaten Sumenep memiliki karakteristik yang unik (Dinas Pariwisata, 2000:1-5). Beberapa produk budaya di Kabupaten Sumenep antara lain: kerapan sapi, sape sono’, tan-Pangantanan, kesenian ludruk, saronen, orkes tongtong, musik gamelan (klenengan), mamaca (macapat), ojhung, tarian muang sangkal, upacara adat nyadar, upacara pernikahan, upacara adat pengantin ngekak sangger dan upacara petik laut. Semua hasil tersebut, menunjukkan bahwa masyarakat Sumenep sangat menghormati leluhurnya dan memiliki karakteristik dalam pengembangan budaya.
Salah satu daerah Kabupaten Sumenep yang masih memegang kuat tradisi daerah adalah Desa Legung Timur. Desa Legung Timur merupakan suatu desa di pinggir pantai utara Kabupaten Sumenep yang mayoritas mata pencaharian penduduknya adalah nelayan. Di desa ini sejak lama memiliki sebuah tradisi pernikahan rakyat yang sangat dikenal dan dibanggakan oleh masyarakat di sana yaitu Pangantan Tandhu.
Istilah Pangantan Tandhu secara harfiah berarti pengantin yang diusung menggunakan tandu, sedangkan pengertian secara lengkap adalah adat pernikahan masyarakat Legung Timur yang setiap proses tahapan pelaksanaan mempelai wanita diusung menggunakan tandu. Tradisi pernikahan ini sangatlah unik karena dalam prosesinya melibatkan ratusan orang (tidak termasuk tamu undangan) serta tradisi pernikahan semacam ini hanya satu-satunya di daerah Sumenep, bahkan di Madura.
Desa Legung Timur terletak di wilayah Sumenep paling utara. Daerah Legung Timur adalah daerah pesisir. Desa Legung Timur memang memiliki karakteristik masyarakat yang unik selain tradisi pernikahannya.
Menurut Chandra (2010: 2) masyarakat Legung Timur dikenal dengan sebutan manusia pasir. Kehidupan dan aktivitas manusia pasir yang terdengar sedikit unik dan mungkin aneh bagi yang baru pertama kali mendengarkan. Bahkan tidur dan memasak pun mereka lakukan di atas pasir. Ada ungkapan “ranjang dipajang, pasir digelar”, artinya di daerah Pesisir kasur hanya menjadi pajangan belaka di kamar atau di rumah karena sejak kecil masyarakatnya memang sudah terbiasa tidur di pasir.