Upacara Rokat Disa (ruwat desa, Jw) merupakan peristiwa adat yang secara tradisional terjadi turun temurun di sebuah desa. Hal ini menunjukkan perhatian masyarakat setempat terhadap desanya sebagai bentuk usaha untuk memberikan nilai agara desanya hidup makmur, pertanian subur, tentram, aman dan mendapat berkah dari Yang Maha Kuasa.
Rokat Disa, terjadi konon sebelum Islam masuk di desa itu, sehingga pemahaman dan peristiwa ritualnya cenderung menggunakan faham animisme. Namun dalam perkembangannya terjadi perubahan dengan bukti yang awalnya menggunakan mantra-mantra dan pada peristiwa selanjutnya unsur-unsur (baca; bacaan-bacaan) Islam mulai dimasukkan.
Dalam tulisan kali ini, Lontar Madura, menurunkan peristiwa Rokat Disa yang terjadi di dusun atau Kampong Tenggina, Desa Salopeng, Kecamatan Dasuk, Kabupaten Sumenep, Madura
Bagi masyarakat Salopeng (sebuah pesisir yang terkenal sebagai lokasi wisata alam yang terkenal dengan bukit pasirnya), menyelenggarakan Rokat Disa merupakan “kewajiban” untuk menghormati sesepuh pendahulunya yang telah memberi “kehidupan” bagi mereka. Upcara ini dilaksanakan biasanya ketika musim hujan belum juga turun, sedang kehidupan pertanian yang menjadi tonggak kehidupan mereka surut.
Dalam kondisi inilah upacara Rokat Disa dilakukan. Pelaksanaan prosesi Rokat Disa bertempat di komplek kuburan yang mereka keramatkan yaitu Jhu’ Kae (Bhuju’ Kae), yang kemudian disebut Rokat Jhu’ Kae). Namun disayangkan, ketika Lontar Madura konfirmasi pada salah seorang tokoh setempat, nama asli dari Jhu’ Kae tersebut, adalah Kae (Kiai) Agung Candra seorang tokoh yang dikeramatkan. Dialah salah satu leluhur mereka yang disebut-sebut sebagai wali atau ulama.
Upcara Rokat Jhu’ Kae pada dasarnya untuk meminta perlindungan pada roh-roh leluhur nenek moyang mereka agar pendudukan desa selamat dan terhindar dari musibah marabahaya, serta mata pencaharian dan hasil tani mereka berhasil melimpah ruwah.
Rokat Jhu’ Kae yang dilaksanakan setiap tahun itu, dilakukan jatuh sesuai kalender Jawa atau tepat pada hari Jum’at Legi dan dilakukan selama tiga kali (setiap Jum’at Legi). Sedang prosesi upacara dilakukan pada saat senja menjelang malam, yaitu sesudah sholat Maghrib, dan pelaksaan berikutnya dilakukan pada sore hari atau setelah sholat Ashar. Menurut mereka pada hari itu merupakan hari yang sakral untuk mengirim doa-doa kepada leluhurnya.
Disekitar Bhuju’ tersebut terdapat terdapat peninggalan atau buah karya Kiai Agung Candra, yaitu disebelah timur Bhuju’ terdapat sebuah yang kemudian disebut Soro’ , dan sampai saat ini dipercaya oleh masyarakat setempat, airnya sebagai media penyembuh, khususnya pada hewan ternak. Dan disebelah utaranya tedapat langgar (surau) dan dhangdhang (genting air) yang beralaskan hamparan batu besar, yang digunakan sebagai tempat whudu’ Kiai Agung Candra serta disebelah selatan terdapat sumber air yang disebut-sebut sebagai Somber Cottho’, yang hingga saat ini masih dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai kebutuhan air sehari-hari.
Prosesi Rokatt Ju’ Kae dipimpin oleh salah seorang sesepun kampung tersebut yang bertemnpat tinggal tidak jauh dari Bhuju’ , yang konon masih menjadi kerabat dekat dari keturunan Ju’ Kae. Dialah yang paling berperan dalam pelaksanaan prosesi upacara yang tentu dibantu oleh sesepuh kampung yang lain.
Sebagai awal acara dimulai dengan mengaji (membaca ayat uci Al-Qur’an) yang dipimpinan oleh seorang Kae (Keyae Ngaji) dan membacakan duwa pangrokat atau doa rokat. Pada saat seperti seluruh warga kampung berkumpul diarena sekitar bhuju’ seraya bersama-sama memohon kehadirfat Yang Maha Kuasa, sebagai awal pembuka upacara.
Sedang dalam perlengkapan upacara tersedia; nase’ rasol, yaitu nasi yang diletakkan diatas gaddangsekkol tono, yaitu kelapa yang dibakar kemudian diparut, dan beberapa butir telur rebus yang telah diiris. (penampan terbuat dari anyaman bambu) dan dialasi selembar daun pisang yang dipotong bulat. Diatasnya terdapat sekkol tono, yaitu kelapa yang dibakar kemudian diparut, dan beberapa butir telur rebus yang telah diiris.
Selain itu tersedia kuwa patheh (sayur santan) serta segelas kopi, segelas teh, segelas poka’ (minuman yang terbuat dari gula aren, jahe dan serre), selain lembur, minuman terbuat parutan kepala dan gula aren (siwalan)
Sedang media yang lain berupa sebagai kelengkapan upacara terdiri dari:
- Beras kunging dan arta’ koneng (jenis kacang-kacangan)
- Dupa atau kemenyan Arab
- Jajan genna’, yaitu aneka macam jajanan/kue yang harus dibeli di pasar dan diletakkan diatas ancak (sebuah penampan terbuat pelepah pohon pisang berbentuk segia empat), lalu dibeli tali antar ujungnya sebagai gantungan.
- Aeng babur, yaitu bunga dalam air sakobo’an (semangkok)
Prosesi Upacara
Sebelum upacara dimulai, didahuluI dengan kegiatan-kegiatan berupa pembersihan dan pengapuran tempat-tempat sekitar bhuju’, surau, sumur (soro’), somber dan lain sekitarnya. Kegiatan ini dilakukan secara gotong royong (song-osong lombhung) pada sore hari bertepatan pada hari Selasa Legi (menurut kalender Jawa) sampai selesai. Yang dipimpin langsung oleh sesepuh kampung yaitu keturunan dari Kae Agung Candra.
Dalam kegiatan tersebut termasuk perbaikan-perbaikan sarana, yaitu perbaikan/pergantian atap-atap yang dianggap rusak dan diganti sebagaimana mestinya. Atas-atas tersebut terbuat dari daun/janur kelapa yang telah kering dan dirangkai kemudian dibentuk dan disusun sebagai atap, yang kemudian disebut gagidhang.
Konon kabarnya, pernah atap-atap tersebut diganti dengan atap genteng atau hasbis, namun anehnya atap-atap tersebut selalu rusak dan hancur menjadi debu. Jadi menurut keyakinan mareka Kae Agung Candra tidak suka tempat hunian terakhirnya diatapi selain dari daun kelapa kering.
Maka keyakinan masyarakat setempat bahwa bila atap kuburan (congkop) tersebut agar terbuat dari daun kelapa agar generasinya mengingat dan mengenang apa yang terjadi para pendahulunya waktu lampau. Dalam pembuatan gagidhang dilakukan disekitar tempat itu juga, yaitu pada hari Kamis sore, dan pada malam harinya (malam Jum’at) upacara ritual dimulai.
Pada saat itu, warga setempat berkumpul, segala macam sajian telah tersedia, kemudian Kiyae Ngajibhuju’ kae, sedang lainnya menempat posisi diluat arena bhuju’. Aneka macam sajian dan peralatan upacara diletakkan di depan Kae ngaji yang sedang memimpin upacara. Dupa muli dibakar dengan aroma asap menyebar seantero arena. Kae mengawali dengan pembacaan suar Al-Fatihah, lalu surat Yasin 41 kali serta surat Al-Waqiah 1 kali. Pembacaan tersebut diikuti oleh seluruh jamaah/warga yang hadir. memimpin dan memulai yang didampingi oleh sesepuh kampong lainnya serta para perangkat desa. Mereka bersama-sama memasuki
Menurut pendapat, jauh sebelum Islam tersiar di tempat itu, pembacaan yang dilakukan yaitu dalam bentuk mantra-mantra berupa pojiyan towa yaitu pujian-pujian kuno yang disebut tahheng. Namun pelaku pujian-pujian tersebut sudah tidak ada lagi dan bersamaan kesadaran masyarakat yang menganggap pujian bertolak belakang dengan syariat Islam.
Setelah mengaji bersama telah hattam, maka Sang Kae membaca duwe pangrokat, yaitu doa-doa penutup kemudian meniupkan pada sajian yang tersedia didepannya. Dan sebagai acara selanjutnya, yaitu nase’ rasol dibagi-bagikan kepada warga yang hadir, kemudian makan bersama-sama.
Selanjut Kae menyerahkan perlengkapan upacara kepada salah seorang yang dituakan, yaitu sesepuh kampung keturunan dari Ke Agung Candra. Pada saat berikutnya dilakukan penaburan berres koneng dan arta’ koneng disekitar bhuju’, yang dimaksudkan untuk tola’ bala’ (penangkal bahaya), sedang aeng babur dan jajan genna’ diletakkan ditempat yang dianggap angker yaitu sumur atau soro’, dimaksudkan sebagai sajian kepada roh-roh halus agar tidak mengganggunya. disiramkan ke makam atau bhuju’ tersebut, dimaksudkan untuk mensucikan arwah leluhurnya. Lalu ancak yang berisi
Dan pada keesokan harinya, tepatnya pada hari Jum’at sore dilakukan satu pertunjukan yang disebut Gumbugan, yang terdiri dari seperangkat thong-thong (alat musik dari potongan bambu) yang biasa digunakan musik menggetak burung merpati. (ditempat lain disebut musik ghul-ghul), yaitu sebagai bentuk kenangan yang pernah dilakukan oleh Kae Agung Candra, yang konon katanya suka memelihara burung merpati getta’. Pertunjukan gumbugan tersebut pada Jum’at terkahir yaitu Jum’at ketiga.
Upacara adat Ju’ Kae ini makin lama makin disederhanakan pelaksanaannya, namun tanpa mengurangi makna dari peristiwa ritual tersebut. Dan bahkan pada saat prpsesi itu berlangsung bukan hanya masyarakat sekitar kampong Tenggina yang meramaikan, bahkan masyarakat dari luar desa dan luar kecamatanpun beramai-ramai menyaksikan sebagai perhatian dan kepedulian terhadap adat istiadat yang telah menjadi bagian peristiwa kehidupan masyarakat. (Syaf Anton Wr)