Walaupun demikian, ada juga budaya yang sudah terlanjur menjadi imej negative bagi masyarakat Madura —yang sebetulnya hanyalah kebiasaan segelintir orang saja, tapi karena didukung oleh proses sosialisasi yang terus menerus pada saat melakukan perantauan ke luar daerah, maka kemudian budaya-budaya seperti ini terkesan lebih dominan. Budaya seperti yang saya maksudkan ini, mempunyai karakteristik anarkis dan suka kekerasan. Anehnya, ini sering terjadi dalam situasi bertahan atau untuk mempertahankan diri.
Nah, pertanyaan selanjutnya, mengapa harus ada strategi pertahanan? Bukankah pertahanan yang paling baik adalah menyerang? Lalu mengapa pertahanan defensif harus dilakukan? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang sejenisnya. Untuk menjawabnya, saya kira ada banyak kemungkinan, tapi kemungkinan-kemungkinan yang paling mendekati sebuah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas tersebut adalah kekhawatiran-kekhawatiran.
Yaitu, khawatir untuk dimarjinalkan, khawatir untuk tersingkirkan, … dst. Di mana budaya yang selama ini sedemikian kuat mengakar di tengah-tengah masyarakat Madura, dikhawatirkan lenyap sedikit demi sedikit seiring perubahan zaman dan era moderenisasi yang semakin global. Pelbagai kekhawatiran inilah yang kemudian menjadi motivasi untuk identifikasi budaya dan mempertahankannya. Tapi, tentu saja kekhawatiran itu tidak datang sekonyong-konyong, pasti ada sebuah tantangan yang datang dari luar; berupa globalisasi.
Tantangan ketersambungan glabalisasi ini tentunya akan sangat berpengaruh terhadap terkikisnya budaya Madura tersebut, Sehingga tantangan globalisasi yang sebetulnya tidak pernah diam itu, lebih mirip dengan sebuah agresi yang terus-menerus menyerang tiada henti; siang dan malam. Hingga pantas sekali apabila ada inisiatif untuk memikirkan secara bersama-sama langkah-langkah strategis dalam rangka mempertahankan budaya yang dimaksud.
Ternyata memang benar, ancaman globalisasi modern tersebut sebentar lagi akan masuk secara langsung vis a vis dengan budaya Madura, yaitu, masuknya jembatan Suramadu yang menghubungkan pulau Madura dengan kota terbesar kedua di Indonesia (Surabaya). Apa yang akan terjadi di Madura setelah tahun 2008 (akhir tahun target selesainya Jembatan Suramadu yang digarap pertama kali pada tanggal 20 Agustus 2003) —atau istilah yang lebih pas pasca jembatan Suramadu tersebut? Nah, inilah barangkali yang saat ini sedang kita raba-raba, yaitu, kemungkinan masuknya kekuatan budaya asing yang notabenenya bertentangan dengan budaya ketimuran kita, karena secara serta-merta; cepat atau lambat, budaya asing tadi akan menggantikan posisinya, tanpa ada pemaksaan tanpa ada kekerasan.