Edi Susanto
Seiring dengan semakin mere-baknya wacana posmodernisme yang meniscayakan runtuhnya hegemoni teori modernisasi dan buyarnya dominasi wacana metanarasi [grand narrative] ikhtiar meninjau kembali wacana-wacana yang selama kurun dominasi grand narrative termarginalisasi, secara lambat tapi pasti mulai memasuki ranah episentrum epistemologi ilmu pengetahuan, sehingga tidaklah heran, wacana kearifan dan budaya lokal mulai menjadi pendatang baru yang siap mewarnai jagat wacana epistemologi ilmu pengetahuan.
Kearifan dan tradisi lokal tersebut menjadi penting untuk direkonstruksi dalam rangka menemukan jati diri otentik, yang selama masa dominasi modernisme, menjadi tereliminasi bahkan terkubur, sehingga demikian banyak manusia-manusia yang ter-cerabut, atau bahkan tidak mengenal jati diri otentik budaya lokalnya. Manusia Madura pun tidak luput dari fenomena demikian. Secara kasat mata, sudah sedemikian banyak nilai-nilai luhur kemaduraan yang hilang dari sosok kepribadian generasi muda Madura.
Misalnya, orang Madura tidak lagi bangga menjadi orang Madura dan tidak lagi mampu berkomunikasi dengan bahasa Madura secara maksimal, yang biasanya ditunjukkan dengan penggunaan dialek halus (enggi bunten), termasuk fenomena merasa risih menggunakan bahasa Madura dalam pergaulan rumah tangga. Kini, anak- anak orang Madura, terutama kalangan kelas menengah, sejak kecil sudah diajari berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia dan tidak lagi diajak berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Madura.
Fenomena ini jelas merupakan ketercerabutan budaya, yang pada akhirnya akan mengantarkan pada terkuburnya nilai-nilai kemaduraan dalam aras kesadaran orang Madura. Pada gilirannya, orang-orang Madura tidak lagi merasa memiliki warisan nilai-nilai luhur budaya Madura, yang telah dengan susah payah dibangun oleh nenek moyangnya. Akibatnya, semangat untuk menumbuhsuburkan nilai-nilai kearifan lokal menjadi terkubur dan banyak generasi muda yang tidak mengenal budaya dari tempat di mana ia diasuh dan dibentuk menjadi manusia.
Tulisan ini mencoba meneropong beberapa komponen tradisi lokal Madura, yang sesungguhnya sedemikian luhur dan terpuji sekaligus kaya dengan nilai-nilai filosofis yang merupakan pantulan [kristalisasi] asli watak orang Madura yang sangat ekspresif dan terbuka, di mana kini telah mulai menghilang dalam aras kesadaran generasi muda Madura.
Tradisi-Tradisi Lokal Madura
Di antara sekian banyak tradisi lokal yang kini sudah mulai tergerus – atau bahkan sirna— dalam sisi-sisi aktualitas perilaku oreng Madura adalah tradisi membangun model rumah ala Madura, seperti roma bangsal, roma pegun dan roma pacenan, tradisi taneyan lanjang dan penggunaan aksara anacaraka, atau yang lebih dikenal dengan sebutan carakan Madura. Sementara itu, terdapat beberapa tradisi yang masih tetap eksis, kendati mulai mengalami pergeseran -atau bahkan degradasi- makna, seperti tradisi kerrapan sape dan Carok. Di samping itu, terdapat beberapa tradisi yang masih melekat kuat pada sebagian besar masyarakat Madura, yakni tradisi hormat menghormati yang tercermin dalam ungkapan Bhuppa’ Bhabhu’ Ghuru Rato dan tradisi manjag [saronen] .
Dalam tradisi bangunan rumah misalnya, Kini, mulai jarang bangunan rumah yang khas Madura, seperti roma bangsal,roma pegun dan roma pacenan, bahkan di pelosok pedesaan pulau Madura. Dalam tradisi lama, tipe roma bangsal biasanya dimiliki oleh kalangan priyayi Madura, seperti klebun [kepala desa]. Sementara, tipe roma pegun mencerminkan bahwa empunya adalah kalangan menengah dari segi ekonomi dan tipe roma pacenan adalah rumah kalangan orang kebanyakan. Dengan melihat model arsitektur dan struktur ornamental rumah orang-orang Madura tempo doeloe, tampak jelas adanya perbedaan kelas sosial dalam masyarakat Madura.
Namun kini, masyarakat Madura sudah tidak tertarik lagi dengan model- model rumah tersebut dan beralih pada model-model rumah mutakhir. Penyebabnya, antara lain karena laju modernisasi yang sedemikian massif menerpa orang Madura di satu sisi, dan pada sisi yang lain, nilai-nilai luhur dari budaya tradisional Madura sudah tidak lagi terinternalisasikan pada sosok kepribadian sebagian besar oreng Madura. Akibatnya, mereka terhanyut dengan tradisi-tradisi pop, yang sesungguhnya tidak mencerminkan jati diri otentik dari tradisi lokal Madura.
Sesungguhnya, kontruksi dalam [internal construction] dari rumah-rumah kuno ala Madura yang senantiasa menghadap ke arah selatan itu, mencerminkan watak asli karakter oreng Madura. Konstruksi dalam tersebut merupakan satu paket dengan tata letak rumah yang dikenal dengan taneyan lanjang. (Mengapa selalu menghadap selatan?)
Bagian dalam rumah-rumah tersebut, tidak memiliki sekat pembatas, atau serba terbuka, sebagaimana model rumah joglo pada masyarakat Jawa. Hal ini dapat dimaklumi, karena Jawa dan Madura adalah masyarakat yang serumpun. Namun demikian, keterbukaan di atas tidak berarti bahwa masyarakat Madura tidak menghargai privasi personal. Tata letak rumah yang demikian menunjukkan bahwa privasi berpusat pada keluarga dekat, terutama jika dikaitkan dengan filosofi Bhuppa’ Bhabhu’ Ghuru Rato , di mana ayah adalah kepala keluarga dan didampingi ibu bertugas mengasuh anak-anaknya.
Sementara, di bagian luar-depan rumah, terdapat amper [beranda atau serambi rumah]. Biasanya, di depan beranda, terdapat halaman luas yang membentang ke arah Barat –Timur. Di ujung barat taneyan [halaman] tersebut, terdapat kobung atau langgar [balai] yang menghadap ke arah timur, sebagai tempat shalat atau tempat menerima tamu, sekaligus menjadi tempat istirahat, atau tempat untuk menginap untuk tamu. Bagi sebagian masyarakat Madura yang masih memegang kuat tradisi, tamu berkedudukan penting. Namun, ia tidak diterima di beranda [amper], tetapi ditemui dan dijamu di kobung atau langgar [balai]. Karena beranda hanya dikhususkan untuk menerima famili dekat.
Sementara, di ujung timur taneyan adalah pintu masuk pekarangan rumah. Arah pojok kanan atau berhadapan dengan rumah, berdiri dapur yang biasanya menyatu dengan kandang sapi, atau kandang kambing bagi mereka yang berprofesi ngowan [memelihara] sapi, kambing atau ayam. Tata letak seperti inilah, yang biasa disebut dengan model taneyan lanjang.
Secara estetis, pola rumah yang demikian sepintas lalu sangat tidak efisien dan terkesan jorok, sehingga orang Madura mutakhir meninggalkannya. Namun demikian, jika ditelisik secara lebih mendalam, fenomena ini mencerminkan watak keterbukaan, kepolosan, keluguan dan ketulusan dari orang Madura [apa badana]. Mereka bersifat apa adanya, tidak ada yang perlu ditutup-tutupi, kecuali terhadap hal-hal yang bersifat sangat pribadi. Biarlah orang tahu semua apa adanya, termasuk punya kesan miring tidak mengapa untuk orang Madura, asal jangan mengganggu hal-hal yang sangat prinsip. Karena itu, bagi orang Madura yang masih memegang kuat nilai-nilai tradisional, tamu diterima dan diistirahatkan di kobung, tidak di beranda, apalagi di dalam rumah. Sebab, rumah bagi mereka adalah pajudun, yang hanya bisa dimasuki oleh anggota keluarga inti saja.
Demikian pula, model taneyan lanjang [halaman panjang dan lebar], dimaksudkan untuk mengumpulkan sanak keluarga dalam satu area [tempat]. Pada sisi lain, taneyan lanjang sangat bermanfaat, ketika mengadakan kenduri atau pesta [rèmoh] , yang bagi orang Madura menjadi tolok ukur status sosial seseorang, atau satu keluarga. Anak yang telah berkeluarga, biasanya menempati rumah utama. Sementara, sang orang tua pindah ke dapur atau ke kobung, atau si anak yang sudah berkeluarga [noro’ potona orèng] dibuatkan rumah yang sebentuk dan sebangun, namun lebih baik di sebelahnya [bagi yang memiliki kemampuan ekonomi]. Tujuan dari hal tersebut adalah untuk tetap memelihara hubungan kekeluargaan dan kebersamaan, yang dalam bahasa Madura dilambangkan dengan istilah rampa’ naong bringin korong .
Tradisi-tradisi di atas, kini sudah tidak lagi dipegang erat oleh masyarakat Madura, terutama bagi mereka yang sudah dibesarkan dalam tradisi pendidikan era Orde Baru. Orang-orang Madura kini sudah tidak lagi berminat membuat rumah bangsal, pegun dan pecinan. Mereka beralih pada
model dan kontruksi rumah berarsitektur modern yang tidak lagi berusaha memelihara konstruksi khas Madura (kobung dan taneyan lanjang) dan menghadap selatan [untuk rumah] dan utara [untuk dapur dan kandang ternak]. Demikian pula, falsafah rampa’ naong bringin korong –hingga batas tertentu— sudah mulai bergeser. Kini, tradisi berkumpulnya satu keluarga besar sudah mulai ditinggalkan, sehingga dengan demikian, telah terjadi pergeseran dan pemenggalan makna, yakni rampa’ naong saja, dan tidak usah bringin korong.
Yang lebih tragis lagi adalah mulai menghilangnya penggunaan huruf anacaraka (carakan madhura) pada masyarakat Madura. Meskipun diajarkan kepada siswa, bahasa Madura tidaklah diajarkan dengan menggunakan aksara aslinya, akan tetapi menggunakan huruf latin, dengan jumlah jam pelajaran yang terbatas. Karena itu, kini terkesan bahwa masyarakat Madura tidak lagi memiliki keterkaitan emosional dengan aksara anacaraka (carakan madhura). Mereka tidak lagi tertarik untuk memelihara dan – apalagi-mengembangkannya, sehingga eksistensinya menjadi hilang di tengah hegemoni kuat penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional. Indikatornya adalah minimnya jumlah pengajar bahasa Madura yang menguasai bahasa Madura halus (ènggi bunten) dan memahami aksara anacaraka.
Meski demikian, tidak semua tradisi lokal kemaduraan mengalami kepunahan. Terdapat beberapa tradisi yang masih eksis pada masyarakat, namun mengalami pergeseran makna dan perubahan artikulasi. Tradisi kerrapan sapè misalnya, kini berkembang ke arah komersialisasi, yang sepertinya perlu ditinjau ulang untuk kemudian dikembalikan pada semangat aslinya. Kenyataan menunjukkan bahwa para pemelihara sapè kerrap saat ini adalah orang-orang kaya saja, sebab perawatannya membutuhkan biaya besar dan lebih besar daripada biaya hidup manusia.
Demikian pula Carok sebagai bagian dari etnografi Madura yang dulunya berlangsung tidak dengan seketika atau spontan. Tetapi, terdapat proses-proses elegan yang mengiringi proses keberlangsungannya. Carok sebagai solusi problematik lazim dijadikan jalan efektif, ketika harga diri orang Madura dilecehkan. Namun demikian, terdapat upaya melakukan rekonsiliasi terlebih dahulu sebelum terjadi carok.
Ketika carok terjadi, tetap terdapat aturan main yang melingkupinya, yaitu pelaku carok harus membunuh lawannya dari depan dan tidak menyergap dari arah belakang [ta’ nyel èp] dan ketika lawan tersungkur, maka posisi mayat menentukan proses kelanjutannya. Jika mayat terlentang, posisi tersebut dimaknai sebagai bentuk ketidakterimaan mayat terhadap kondisinya, maka keluarganya dipandang berhak melakukan balas dendam. Tetapi, jika posisi meninggalnya tertelungkup menghadap tanah, maka balas dendam menjadi tabu untuk dijalankan oleh keluarga yang menjadi korban carok.