Dengan demikian, dapat ditarik suatu garis tegas bahwa peran wanita Madura memiliki peran setara dengan kaum lelakinya, baik dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dalam peperangan sekalipun membela hak sebagai warna negara. Bahkan dalam konteks tertentu peran wanita Madura terlihat sangat keras dan sangat menentukan keberhasilan kaum laki-laki, tanpa mengesampingkan posisi laki-laki sebagai pemimpin dan pelindung kehormatan wanita.
Dari cacatan sejarah budaya sebagaimana ditulis buku VOC Daghregister, Keberadaan Belanda di Madura tentu sangat menggangu kedaulatan masyarakat Madura yang pada waktu itu telah memiliki pemerintahan sendiri. Jadi pada saat itu Madura telah mampu menentukan nasibnya sendiri sebagai bangsa yang mandiri, sebagaimana catatan berikut:
“Neng taon 1831 Madhura mabada bharisan se enyamae Corp Bharisan. Corp Bharisan jareya kaangguy makowat pamarentaan e Madhura, se nyatana Mhadura la andhi’ pamarentaan dhibi’, artena Pamarentaan Hindia Belandha ta’ noro’ ngorose pa-apa se patot elakone ra’yat ban pangraja Madhura.”
Terjemahannya:
Pada tahun 1831 Madura membentuk barisan yang diberi nama Corp Barisan. Corp Barisan ini memperkuat pemerintahan Madura, yang sesungguhnya Madura sudah punya pemerintahan sendiri, arinya Pemerintah Hindia Belanda tidak boleh ikut campur terhadap apa saja yang pantas dilakukan oleh rakyat dan para tokoh-tokoh rakyat Madura.
Dari kalimat tersebut dapat dikatakan bahwa sudah sejak zaman dahulu ( baca : jauh sebelum Republik Indonesia Merdeka ) Madura telah menjadi suatu negara yang merdeka dan menerapkan prinsip-prinsip otonomi bagi masyarakatnya. Dengan demikian, menganut prinsip berdiri di atas kekuatan sendiri, yang berhak mengatur dan menentukan nasibnya.
Namun demikian, masyarakat Madura juga menganut prinsip terbuka, menghargai eksitensi dan kedaulatan bangsa lain dan bekerja sama secara proporsional dengan bangsa manapun di dunia ini, tanpa saling intervensi satu dengan yang lainnya. Hal ini terbukti dalam sejarah, walaupun masyarakat Madura memiliki kemampuan dalam pertempuran namun tetap tidak melakukan invasi ke wilayah kekuasaan ( Baca : Kerajaan ) lain. Bahkan sebaliknya para tentara Madura sering dimintai bantuan dalam pertempuran pada jaman Singosari, Majapahit, pertempuran ke Batavia pada jaman pemerintah Islam dibawah pimpinan Raden Fatah, hingga jaman perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Hal ini emberikan gambaran bahwa masyarakat Madura sangat menghargai kedaulatan bangsa lain.
Jauh sebelum masa Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, Masyarakat Madura pernah diminta bantuan oleh Mataram untuk menghadapi Bupati Blambangan yang ingin memberontak terhadap kekuasaan Mataram. Perlu diketahui, bahwa kerajaan Mataram pernah menjajah Madura, namun karena Mataram meminta bantuan kepada Madura yang pada saat itu dipimpin oleh Bupati Raden Bugan yang kemudian diberi gelar Tumenggung Yudonegara yang berkedudukan di Sumenep Madura. Maka, permintaan Mataram dipenuhi dengan tangan terbuka.