Kalau Madura disebut pula pulau “karapan sapi”, maka salah-satu jenis sastra lisan yang bisa didapatkan pada pacuan sapi ialah lok-alok. Karapan sapi yang menampilkan lok-alok bukan karapan sapi yang kita lihat pada kejuaraan karapan sapi di kota-kota kecamatan atau kabupaten di Madura.
Karapan sapi yang menampilkan lok-alok ialah yang terdapat di desa-desa di mana sapinya dipacu sepasang-sepasang tanpa lawan berpacu. Sepasang sapi biasanya dipacu dua kali. Di antara dua kali pacuan ini ada waktu bagi masing-masing si empunya sapi untuk memperkenalkan nama sapinya kepada para penonton, yaitu pada saat semua sapi sudah berada di finis setelah pacuan yang pertama. Ketika hendak kembali ke start untuk pacuan yang kedua kalinya, di tengah-tengah lapangan si empunya sapi atau orang yang mewakilinya mengucapkan pidato perkenalan itu, yang disebut lok-alok.
Orang yang mengucapkan lok-alok disebut tokang lok-alok. Seorang tokang lok-alok yang ahli biasanya sangat pandai sekali mengelola kata-kata, sehingga ucapan-ucapannya puitis sekali, meskipun kadang-kadang terjerat pada klise.
Dalam lok-alok ini ternyata dominan sekali permainan irama dan rima, sehingga terlepas dari arogansi yang terkandung dalam maknanya, namun persyaratan sastrawi sudah bisa dipenuhi. Di samping itu vitalitas yang memancar pada bunyi masing-masing kata menunjukkan bahwa lok-alok ini benar-benar salah-satu sastra lisan yang khas Madura. Uniknya pula lok-alok itu tidak dilagukan sebagaimana kidungan, sebagaimana lazimnya sastra Madura yang puitis lainnya, tapi diucapkan dengan suara lantang seperti orang membaca sajak.
Istilah lok-alok berarti memperkenalkan, karena kata ka-alok dalam bahasa Madura berarti terkenal. Jadi lok-alok memperkenalkan dua ekor sapi yang diikutkan pesta kerapan.