Kebudayaan Madura saat ini seperti harus bergulat sendiri dalam upayanya untuk tetap bertahan (eksis). Selain harus menghadapi derasnya arus modernisasi, ada kenyataan pahit, yaitu dukungan masyarakat Madura sendiri yang tak pasti. Ini terlihat dari keberadaan mereka yang kini justru makin menyusut, dengan identitas diri yang seolah-olah “terselip ” entah ke mana.
INI sebenarnya dapat dipahami karena citra tentang Madura yang selalu jelek, dan masyarakatnya sendiri cenderung termarjinalkan. Karena itu, ketika mereka kemudian berhasil naik dalam status sosial yang tinggi, mereka pun enggan untuk mengakui komunitas asalnya. Ini wajar karena keterpinggiran yang dialami Madura terlalu lama sehingga secara psikologis itu menjadi bersifat traumatik, ” papar Dr A Latief Wiyata (54), oreng Madure (orang Madura) kelahiran Sumenep yang kini menjadi peneliti tamu di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan juga sekaligus dosen tamu di Universitas Indonesia (UI).
Krisis identitas diri ini, menurut Latief, diperlihatkan secara konkret lewat data sensus penduduk. Jumlah etnis Madura di seluruh Indonesia yang pada tahun 1930 tercatat sebanyak 4,3 juta jiwa “hanya ” menunjukkan peningkatan 0,65 persen, atau menjadi 6,7 juta jiwa saja pada tahun 2000.
Orang Madura, yang menduduki peringkat ketiga penduduk terbanyak setelah Jawa dan Sunda itu, identitas dirinya kini makin tidak dikenali karena cenderung memilih alternatif “eskapistik ” (lari) dalam interaksi sosialnya di perantauan. Artinya, mereka sendiri menolak atau “melucuti ” ciri atau karakteristik etnik yang melekat pada diri mereka.
“Bahkan, yang lebih menyedihkan lagi, bahasa lokal (Madura) di daerah perantauan sering kali menjadi tameng untuk menyembunyikan kemaduraan mereka. Dengan berbahasa lain, terutama bahasa Jawa, kadang kala justru memberikan kebanggaan tersendiri bagi orang Madura, ” ujar Latief, yang juga menjadi dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Negeri Jember (Unej).
Karakteristik orang Madura yang dibentuk oleh kondisi geografis dan topografis Pulau Madura pada dasarnya lekat dengan budaya masyarakat hidraulis (air). Dan akibat kondisi lahan yang tandus, orang Madura lebih banyak menggantungkan hidup pada laut sehingga mereka pun berpola kehidupan bahari yang penuh tantangan. Inilah yang kemudian melahirkan perilaku sosial yang bercirikan keberanian tinggi, menjunjung tinggi martabat dan harga diri, berjiwa keras, dan ulet dalam hidup.
Tak mengherankan jika dalam sikap dan perilaku sosial mereka itu tumbuh harga diri yang kadang-kadang berlebihan dan mengundang munculnya konflik. Oleh karena itu, tindak kekerasan seolah-olah juga lekat dengan pribadi orang Madura.
Celakanya, menurut Latief, beberapa kelompok masyarakat, terutama mereka yang tidak mengenyam pendidikan cukup tinggi, kadang sengaja ingin menonjolkan citra negatif ini untuk menakut-nakuti orang lain demi mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Selain membawa “citra kekerasan “, pencitraan sosok Madura juga selalu diidentikkan dengan Islam. Agama Islam yang sudah “merasuk ” sedemikian kuat akhirnya berfungsi sebagai inti kebudayaan yang memuat ajaran moral dan etika yang menyelimuti seluruh kehidupan masyarakat.
“Islam pada orang Madura menjadi jati diri suku bangsa Madura, atau sebaliknya suku bangsa Madura mempunyai jati diri Islam, ” papar Drs Abdul Latif Bustami MSi (39), kandidat doktor Antropologi FISIP UI.
Di tengah kondisi jati diri yang makin “kabur ” tersebut, ketakutan akan hilangnya sebuah tradisi dan kebudayaan wajar saja muncul. Budayawan dan penyair asal Sumenep, D Zawawi Imron (58), sempat mengungkapkan kecemasannya akan kesenian di tanah kelahirannya yang kini hampir hilang, yaitu seni bertutur.
Dahulu, menurut Zawawi, setiap orangtua bisa mendongengkan cerita-cerita menarik kepada anak dan cucunya. Tanpa disadari, aktivitas sederhana ini bahkan juga mempunyai manfaat luas, yaitu menjalin kerekatan dan kekerabatan antargenerasi. Namun, di tengah zaman yang modern dan derasnya arus informasi, keberadaan dongeng makin tergusur oleh kemasan media elektronik yang dilengkapi dengan visualisasi.
“Kini, banyak orang yang tidak lagi peduli pada dongeng. Padahal, di balik itu, ada banyak nilai-nilai kearifan lokal yang layak dicerna dan dituturkan bagi siapa saja termasuk anak-anak, ” ujar Zawawi.
Selain dongeng, di Madura juga dikenal bentuk kesenian lain yang juga dipentaskan dalam bentuk pertunjukan teater tradisional, seperti topeng dalang, ajing yang sekarang lebih dikenal dengan ludruk, slabadan, dan lawak.
Pertunjukan tradisional yang biasanya ditampilkan dengan iringan gamelan Madura ini di masing-masing daerah dipentaskan dengan variasi yang cukup beragam. Bentuk-bentuk kesenian tersebut hingga kini masih hidup di desa-desa dan “ditanggap ” untuk keperluan perayaan perkawinan, ruwatan, dan lain-lain.
Mengacu pada sejarah, menurut Pembantu Dekan III Fakultas Sastra Unej Drs Edhi Burhan Arifin MHum (45), budaya Madura secara umum telah mengalami transformasi (perubahan) dalam tiga tahapan. Ketiga tahapan transformasi budaya itu adalah transformasi budaya Jawa-Madura, Islam-Madura, dan transformasi Barat-Madura.
Madura mulai menonjol peranannya sekitar abad ke-13 ketika Aria Wiraraja diangkat sebagai Adipati Sumenep oleh Raja Kertanegara dari Singasari. Sosok budaya Madura pada tahapan awal itu ditandai dengan dominannya unsur-unsur Jawa yang terpetakan jelas dalam pola struktur masyarakat, sikap dan perilaku sosial, jenis-jenis kesenian, serta struktur bahasa.
Dalam pola struktur masyarakat, sikap serta perilaku sosial, transformasi tersebut terwujud dalam orientasi nilai budaya yang bersifat vertikal yang melahirkan perbedaan strata sosial yang jelas dan terdiri dari tiga lapisan, yaitu rato, parjaji, dan oreng kenek (Kuntowijoyo, 1980). Ketiganya sama dengan pembagian yang terdiri atas ratu (raja), priayi (kelompok elite/ ningrat), dan wong cilik (masyarakat bawah) di Jawa.
Pembagian inilah yang kemudian juga membawa pelapisan atau tingkatan bahasa yang mengatur cara bertutur antarkelas sosial tersebut. Adapun pengaruh dalam bentuk kesenian terlihat oleh masuknya budaya karawitan gamelan Jawa yang ikut mengiringi seni pertunjukan Madura.
Transformasi budaya Islam dan Madura pun, menurut Edhi, juga tidak terlepas dari proses transformasi yang berlangsung antara budaya Jawa dan Madura. Di situ, Jawa seolah menjadi katalisator yang menjembatani dua budaya lainnya.
“Hal ini terlihat dalam proses pengajaran agama Islam di pesantren-pesantren yang menerjemahkan kitab-kitab agama Islam secara beruntun, yaitu dari bahasa Arab digubah ke dalam bahasa Jawa, baru kemudian digubah lagi menjadi bahasa Madura, ” ujar Edhi memaparkan.
Pengaruh budaya Jawa dalam transformasi Islam-Jawa ini tercermin pula dari sikap dan perilaku orang Madura yang menempatkan kiai atau ulama sebagai figur sentral. Pada hakikatnya ini bersumber pada nilai-nilai budaya Jawa yang berorientasi vertikal.