Senada dengan Abdul Latief Bustami, menurut Edhi, masuknya Islam ini ternyata berpengaruh secara dominan dalam budaya Madura. Bahkan, kedalaman nilai-nilai Islam tampak pada sistem kemasyarakatan yang mengenal pemisahan dengan jelas tempat tidur antara pria dan wanita dewasa pada rumah-rumah tinggal rakyat tipe tanean lanjang yang dilengkapi dengan langgar.
Selanjutnya, transformasi budaya Barat-Madura yang terjadi pada masa penjajahan Belanda ternyata tidak berlangsung semulus masuknya dua budaya sebelum itu. Ini karena proses transformasi yang terjadi dalam situasi konfrontasi (perang) mau tak mau akhirnya terjadi dalam kondisi yang juga penuh prasangka.
Pengaruh Barat dalam budaya Madura ini berlangsung setelah Madura dikuasai oleh Belanda. Transformasi budaya Barat-Madura ini akhirnya melahirkan struktur pemerintahan yang semula kerajaan tradisional berubah menjadi struktur pemerintahan ala birokrat. Raja atau sultan mendadak berubah status menjadi bupati, sebagai aparat birokrasi pemerintah Belanda yang menerima gaji bulanan.
Pengaruh budaya Barat ini, demikian ujar Edhi, juga tampak pada seni arsitektur yang cenderung menunjukkan pengaruh Belanda, seperti pada Keraton Pajagalan, Keraton Sumenep, Masjid Agung Sumenep, dan Asta Tinggi.
Kini pengaruh segala macam budaya tersebut, tak dapat dihindari, menyerbu secara deras melalui pelbagai media. Seiring dengan kemajuan zaman, Madura juga mengalami suatu proses modernisasi di segala bidang, termasuk di antaranya yang diwujudkan dengan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir, dan Jembatan Surabaya-Madura (Suramadu) berikut konsep industrialisasi. Namun, tak urung “aroma perubahan ” yang dijanjikan dari proyek-proyek ini akhirnya juga menuai kontroversi.
“Pembangunan jembatan Suramadu dan konsep industrialisasi yang ditawarkan ini jelas-jelas tidak memihak rakyat Madura. Dengan rata-rata latar belakang pendidikan masyarakat Madura yang tidak terlalu tinggi, industri berteknologi tinggi ini sangat tidak cocok dan tidak akan memberikan keuntungan apa-apa bagi mereka, ” ujar Bustami.
Bustami menilai proyek Jembatan Suramadu sendiri adalah proyek “paksaan ” yang hanya tampak gebyar di saat pembukaan, namun belum matang dalam perencanaan ke depan.
Jika memang ingin memajukan Madura, ujar Bustami lebih lanjut, lebih baik jika dilaksanakan pembangunan yang bersifat padat karya saja. Dengan kemampuan serap tenaga kerja lebih banyak dan tanpa batasan tingkat pendidikan yang tinggi, proyek semacam itu diyakini akan dapat memberikan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar.
“Namun, kalau dipaksakan dengan proyek-proyek semacam tadi, dikhawatirkan masyarakat Madura lambat laun akan menjadi penonton di daerahnya sendiri, ” ujarnya.
Masuknya industrialisasi ini, menurut Bustami, juga dikhawatirkan akan makin melunturkan budaya asli Madura. Imbasnya mungkin akan semakin “mencekoki ” masyarakat dengan berbagai gaya hidup modern yang buruk, seperti pengaruh narkoba, kehidupan malam, sehingga tak dapat dimungkiri juga akan makin memupuskan nilai-nilai luhur dalam Islam.
Lepas dari itu, Madura yang selama ini juga lekat dengan citra keterbelakangan masih juga membawa kejutan baru. Yaitu, munculnya kajian dari beberapa lembaga swadaya masyarakat yang mulai kembali ramai membicarakan kemungkinan Madura menjadi sebuah provinsi. (EGI)
(Budaya Madura : Bertahan dengan Identitas yang Terselip / Kompas (24 September 2004)