Edhi Setiawan
Dewasa mi orang Madura sudah mulai enggan mempelajari nilai-nilai / peninggalan I sejarah budaya Madura. Pengajaran-pengajaran mengenai hal tersebut diatas amat jarang dilakukan di sekolah-sekolah. Bahasa Madura mulai ditinggalkan dan tidak dipergunakan dalam rumah tangga orang Madura perkotaan. Mereka lebih suka menggunakan Bahasa Indonesia.
Nama-nama tempat di Madura, banyak yang di Indonesia-kan, dan terasa dipaksakan sehingga lepas dan makna sebenarnya. Seperti Manding Daja menjadi Manding Daya, Topote Lao’ menjadi Batu Putih Laut, Baru menjadi Waru. Nama-nama Madura yang Islami seperti Abdullah, Saleh, Rasul, Ali yang menjadi ciri hkas orang Madura (masyarakat Madura adalah masyarakat religius) masa lalu, di kalangan generasi muda Madura kini enggan dipakai lagi. Mereka lebih suka menggunakan narna Johny, Tommy, Novi, Elvi, dll.
Pandangan-pandangan steriotipe mengenai orang Madura yang banyak mengisi acara-acara di TV / tulisan-tulisan selalu identik dengan kekonyolan, sikap sok tahu, dan kekerasan menyebabkan citra budaya Madura makin terpuruk. Hal ini menimbulkan rasa kurang percaya diri bagi sebagian besar orang-orang Madura. Dampak dari itu, sebagian orang Madura malu mengaku / bangga sebagai orang Madura.
Gejala-gejala terjadinya erosi/pengikisan terhadap budaya Madura menimbulkan keprihatinan yang mendalam. Apabila tidak ditanggulangi secara sungguh-sungguh dikhawatirkan pada masa depan oleh sebagian kalangan budaya Madura akan punah. Madura akhirnya akan menjadi / tinggal sebuah nama tempat bukan komunitas budaya.