Oleh : Kristianus Atok dan Yulianus, MAR
Bagaimana Kedua Komunitas Saling Menyesuaikan Diri
Di Retok hampir semua orang Madura bisa mengerti Bahasa Dayak Ba’ahe dan sebagian besar orang Dayak bisa mengerti Bahasa Madura. Sebagian orang Madura belajar Bahasa Ba’ahe sewaktu mereka masih bersekolah di sekolah dasar. Murid-murid sekolah-sekolah negeri di Retok terdiri dari anak-anak dari komunitas Dayak maupun Madura. Anak-anak dari kedua komunitas ini belajar bahasa masing-masing dalam pergaulan mereka di sekolah. Guru dari kedua komunitas pada umumnya bisa berbicara bahasa temannya; guru Dayak bisa berbahasa Madura dan guru Madura bisa berbahasa Ba’ahe. Kaum pedagang Madura belajar Bahasa Ba’ahe dalam interaksi langsung mereka dengan pembeli atau orang-orang di pasar pada umumnya.
Hal menarik lain mengenai komunitas Madura dalam hal kehidupan sosial politik di Retok adalah bahwa meskipun dalam hal jumlah mereka lebih besar, mereka tidak berambisi untuk memegang kepemimpinan di tingkat desa. Sejak pemilihan kepala desa pada tahun 1972, komunitas Madura di Retok menyerahkan kepemimpinan desa kepada orang Dayak. Padahal, kalau dihitung jumlah, calon kepala desa orang Madura sudah pasti akan menang meski hanya didukung oleh pemilih orang Madura saja.
Bagaimana Kedua Komunitas di Retok Melakukan Upaya-upaya Preventif
Setiap kali warga Retok merasakan situasi tidak aman, mereka melakukan ronda malam bersama. Hal ini terjadi pada tahun 1997 dan 1999. Mengambil pelajaran dari apa yang terjadi pada perkelahian-perkelahian antar etnik pada tahun-tahun sebelumnya, ronda malam di Retok dilakukan secara silang. Warga Kampung Sosor (Dayak) melakukan penjagaan di Kampung Retok-Parit Tembawang (Madura) dan sebaliknya warga Retok-Parit Tembawang menjaga Kampung Retok Sosor.
Penjagaan kampung secara silang ini biasanya dikuatkan dengan upaya penjagaan yang dilakukan secara religio-magis. Dalam adat orang Dayak, memasang tempayan pamabakng, yang didasari upacara adat dan pembacaan-pembacaan doa adat dan dilakukan atas kesepakatan tua-tua adat berdasarkan pembacaan gejala-gejala alam, dipercaya dapat menghindarkan kampung dari bala yang datang dari luar yang berniat jahat terhadap orang di kampung yang bersangkutan. Pada tahun 1983 pada saat peristiwa terbunuhnya Guru Jaelani (Dayak) di Sungai Enai oleh orang Madura, warga Retok, baik orang Dayak maupun orang Madura mengadakan upacara pemasangan tempayan pamabakng dengan harapan kelompok manapun yang ingin memanfaatkan situasi dengan menyerang warga Retok akan mengurungkan niatnya karena akan melihat tanda-tanda alam (rasi) yang muncul akibat pengaruh pemasangan adat pamabakng ini. Bagaimanapun penyerangan ke Retok baik terhadap kampung orang Madura maupun kampung orang Dayak tidak pernah terjadi hingga saat ini.