Pengungkapan sejarah pangeran Wetan yang menghancurkan tentara Bali ketika menyerang Sumenep. Sebagaimana di sebut dalam kalimat, “mon ta’ nondhe’ jaga jaggur”, artinya kalau tidak tunduk maka akan dijatuhkan ke laut (jaggur, sinonim suara benda jatuh ke air). Tentara Bali mengalami kekalahan, dan kemudian sisa-sisa tentara Bali tersebut menyingkir ke daerah pinggiran. Daerah pemukiman yang ditempati oleh sisa-sisa tentara Bali dan keturunannya tersebut dinamakan Pinggir Papas. Sampai saat ini tradisi Bali (Hindu) masih dijadikan acara ritual, yang dikenal dengan ritual “Nyadar.”
Tentang pemerintahan Pangeran Lor II dan Pangeran Wetan II, dan meramalkan masuknya kolonial Belanda, sebagaimana disebut pada kalimat, “Haena haedhang haena dhangkong”, maksudnya (sujud). Kalimat tersebut menjelaskan masuknya sekularisme di Sumenep, yang tentunya isme yang di bawa oleh penjajah Belanda tersebut akan berakibat terganggunya stabilitas pemerintahan, Tumenggung Sumenep.
Pengungkapan masa pemerintahan Cakranegara I, “Pangantan loji pamaso’a ka karaton”, (pengantin lojji dimasukkan ke keraton). Ini berkaitan dengan kisah, ketika pangeran Cakranegara I dalam perjalanan ke Demak. Di tengah perjalanan, tepatnya di daerah Sampang pangeran Cakranegara dirampok sehingga beliau tidak bisa kembali ke Sumenep. Akibat peristiwa tersebut maka terungkaplah kalimat, “pangantan, ka’ imma pangantan”, artinya pengantin kemana pengantin (pangeran) ?
Kalimat, “aeng tase’ bangkambangan” (air laut mengambang). Makna pada kalimat tersebut terjadi pada masa pemerintahan Raden Mas Anggadipa yang berasal dari seberang. Pada masa itu rakyat tidak menyenangi pemimpin yang bukan berasal dari istana Sumenep, akibat rasa ketidaksenangan tersebut maka muncullah pemberontakan. Namun pemberontakan rakyat tersebut dapat ditaklukkan oleh Raden Mas Anggadipa. Peristiwa tersebut memunculkan sebuah kalimat, “duh panarema, duh panarema”, yang berarti terimalah semua itu dengan besar hati dan lapang dada.
Pencerminan kisah yang terjadi pada masa pemerintahan Jayeng Pati. Pada masa itu terjadi krisis ekonomi dan mampu mengganggu stabilitas. Krisis yang terjadi tersebut disebabkan oleh ulah Jayeng Pati sendiri karena Jayeng Pati merubah peraturan dan adat istiadat. Di samping itu Jayeng Pati merupakan otak peristiwa perampokan terhadap Cakranegara I. Pada masa pemerintahan Jayeng Pati, mengalami krisis ekonomi dan menyebabkan kehidupan rakyat mengalami masa-masa pahit, dan itu menyebabkan rakyat hanya mampu makan, “nase’ obi kowa lorkong”, artinya makan ubi dan sayur lorkong (jenis tanaman makanan ular).
Pada masa inilah tumbuh subur penyakit mental di kalangan istana, yaitu oportunis, KKN, dan ABS. peristiwa ini dikiaskan pada kalimat, ”pangerengnga pate’ buttong”, artinya pengiringnya adalah anjing tak berekor.
Kisah tentang masa kepemimpinan Yudha Negara, ialah masa kembalinya dari keturunan Pangeran Cakraningrat I setelah merebut kekuasaan dari Jayeng Pati dengan bekerja sama dengan Pangeran Trunojoyo. Saat itulah rasa patriotisme mulai menjalar, masa usaha menghancurkan kolonialisme Belanda, meski masih memakai sistem pemerintahan feodalisme aristokrat. Namun mendapat pujian rakyat, sebagaimana terdapat pada kalimat, “paneka pangantan sopaja kengeng Salamet, ya salam, salam”, (ini pengantin (pangeran) supaya mendapat keselamatan, ya selamat, selamat), yang pada masa itu masih bergolak perlawanan Trunojoyo.
Kisah tentang masa pemerintahan Pulong Jiwo, “kini pengantin lah tiba”, yang dimaksud dalam kalimat tersebut adalah kembalinya Pulong Jiwo dengan mengadakan perbaikan-perbaikan di dalam sistem pemerintahan dan juga rasionalisme kultur yang rusak akibat masa pemerintahan Jayeng Pati
Penerus kebijakan Pulong Jiwo, yaitu pangeran Romo. Ia dianggap orang yang mumpuni dengan menerapkan sistem bapaisme yang merupakan perangkat dari sistem feodalisme aristokrat, sehingga terjadi revolusi keraton. Untuk ini terungkap, “tan taretan sadjana e dalem somana”, artinya saudara-saudara yang berada dalam soma (rumah tangga), jadilah kepala rumah tangga yang baik dan bijak. Adat istiadat mulai berkembang dengan harapan, “olle tetep Islam dan Iman”, agar tetap Islam dan Iman.
Kisah masa pemerintahan Wiromenggolo I, yaitu saat terjadi pemberontakan melawan Belanda, disebut, “ana’ serdadu mekol senapan,” (anak serdadu memikul memanggul senjata). Menyebut Wiromenggolo I yang anti Belanda namun masih tertutup, termasuk yang anti Belanda ialah Wiromenggolo II serta cucunya, Jaga Sastro yang tewas ketika menyelamatkan pangeran Diponegoro pada saat pertempuran di Madura.
Kisah masa pangeran Lolos, sebagaimana disebut, “pangantan ka’imma pangantan”, (penganten (pangeran) dimana pangeran), pada waktu pangeran Lolos di serang Raden Buka’. Pangeran Lolos disebut juga pangeran Jimat.
Masa pemerintahan Raden Buka’ (Jimat), dijelaskan pada kalimat, “jas Turki pakaian celana puti”, dimaksud jas Turki celana putih, yaitu pakaian jas bentuk terbuka sebagaimana pakaian orang Turki, dengan kopiah merah berumbai-rumbai. Jas terbuka ini menandakan jaman masa Raden Buka’.
Masa Ke’ Lesap, yang tertera pada kalimat, “Yam beranak etekla ayam pengantin baru sudah berjalan”. Maksudnya pemerintahan diganti oleh seseorang tapi bukan dari tutrunan pangeran Wetan. Memerintah hanya sebentar karena selalu terjadi peperangan.
“La bu’na mela ajam poté”, artinya masa pemerintahan oleh seorang ibu, yaitu Ratu Tirtonegoro. Roda pemerintahan berikutnya diserahkan kepada Bindara Saod (1750-1762 M). namun timbul permasalahan sebagaimana dalam kalimat, “cocco’ sangkang e soro pajikaran”, artinya dipatuk burung gelatik disuruh tukang pedati. Yaitu pemerintahan pedati yang bukan dari keturunan pangeran Wetan, tapi dari orang kebanyakan (golongan masyarakat rendah).
Rentetan analisis di atas hanya merupakan bagian-bagian tertentu dari masing-masing bait. Namun demikian versi lain masih terjadi penafsiran lain yang bersifat dimensional. Jadi makna ganda dan dimensionalis dogma yang terkandung merupakan rangkaian makna yang tersirat. Maknanya juga bisa berarti dialektika sejarah, budaya, filsafat, sufistik melalui Doktrin-doktrin yang memiliki kekuatan politik serta kritik sosial pada jamannya.
Selain nilai kesejarahan, syair Dhe’ nong dhe’ ne’ nang mempunyai pengertian mengangkat ritualisme melalui jalur pengantin anak-anak, sebagaimana harapan penciptanya (anonim) agar lebih mudah dan leluasa dijiwai oleh masyarakatnya, yaitu ritual pengantin yang diangkat menjadi tradisi (folklore).
Demikian pula irama yang dihasilkan, bagaikan lantuman gaung penderitaan, ketidakpuasan, kecintaan, keagungan, kebahagiaan seperti letupan-letupan detak gendang dan gong di pendapa. Maka terciptalah rasa senasib sepenanggungan, sebagaimana dimaksud pada kata, “dhe’-nondhe’”, yang berasal dari kata, “dhu’ nondhu’”, yang artinya menunduk. Dalam pengertian nondhu’ para orang tua Madura, menyimpulkan kepada, “Bapa’, babu’, guru, rato”, maksudnya tunduk kepada ayah, ibu, guru (ulama), dan ratu (pemimpin).
Tulisan bersambung:
- Tan-Mantanan, Tradisi Permainan Anak Madura;
- Nilai Kesejarahan Syair Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang;
- Kandungan Filsafat Syair Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang;
# Gambar peristiwa: Tradisi Tan-Mantanan dalam Sebuah Festival