oleh : Syaf Anton Wr
Bahasa dan sastra merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan sehingga sering diibaratkan sebagai dua sisi dari sekeping mata uang. Secara umum dapat dikatakan bahwa tidak akan pernah ada karya sastra yang dapat melepaskan diri dari peran bahasa sebagai alat ungkapnya. Demikian pula halnya dengan bahasa dan sastra daerah, keterikatan dan ketergantungan satu dengan lain sangat erat hubungannya.
Bahasa sastra daerah sebagaimana yang ada selama ini menunjukkan perubahan yang kurang menguntungkan bila dibanding pada masa-masa sebelumnya. Hal ini juga diakui oleh sejumlah pemerhati bahasa dan sastra daerah dari sejumlah wilayah. Secara umum problematika pengembangan bahasa dan sastra daerah lantaran terjadinya perubahan sosio cultural masyarakat dalam memahami hakikat bahasa ibunya sendiri. Hal ini memicu lahirnya keterasingan bahasa dan sastra daerah yang juga dihawatirkan terjadinya kemunduran penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa yang diagung-agungkan Masyarakat penuturnya.
Sebenarnya, kondisi bahasa, sastra, dan aksara daerah saat ini sudah berkali-kali dibentangkan, disedihkan, ditangiskan, dan dijeritkan oleh para pemeduli bahasa daerah dalam kongres-kongres bahasa daerah pada Kongres Bahasa Bali, Kongres Bahasa Jawa, termasuk dalam Kongres Bahasa Madura beberpa waktu lampau.
Seandainya bahasa-bahasa Nusantara lainnya dengan jumlah penutur yang besar, seperti bahasa Dayak, bahasa Batak, bahasa Bugis, dan lain-lainnya, juga mengadakan kongres bahasa daerah semacam Kongres Bahasa Bali, Kongres Bahasa Jawa, dan Kongres Bahasa Madura potret yang akan disajikan tentang kondisinya akan senada, yaitu potret yang suram.
Seperti halnya yang terjadi pada bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia, pemakaian bahasa daerah tampaknya mulai (sudah) terdesak oleh pemakaian bahasa Indonesia. Sebagai ilustrasi, jika dalam keluarga terdapat ayah yang berpenutur asli bahasa daerah setempat dan ibu yang berpenutur asli bahasa daerah yang beda, komunikasi antara suami istri lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerah, yaitu bahasa Indonesia. Komunikasi antara orang tua dan anak pun selalu menggunakan bahasa Indonesia, meski dalam keluarga dari suku yang sama. Dengan demikian dalam konteks satu keluarga bisa jadi akan terjadi bahasa kominikasi mereka, baik dalam keluarga maupun lingkungannya dengan menggunakan multibahasa atau bahasa etnik pendalungan (pinjam isitilah Prof. Ayu Sutarto).
Kemampuan bermultibahasa pun terjadi bukan saja dalam bahasa komunikasi sehari-hari. Diwilayah yang memiliki kekuatan kebudayaan dalam lingkungan kerabat keratonpun (yang dianut generasinya) tidak jauh berbeda dengan masyarakat di luar keraton. Kemampuan mereka dalam berbahasa Indonesia lebih baik daripada kemampuan berbahasa ibunya. Faktor penyebabnya antara lain pengaruh modernisasi yang tidak mungkin dihindari, anggapan bahwa penggunaan bahasa Indonesia lebih praktis daripada bahasa daerah, menambahkan keyakinan bahwa kemampuan bahasa daerah kurang memiliki nilai ekonomis, dan lain-lain.
Ironisnya keberlangsungan “menafikan” bahasa daerah ini kerap juga dilakukan oleh para petinggi daerah di Madura yang berasal dari daerah setempat yang sering menggunakan bahasa Indonesia dengan logat bahasa daerah lain.