Madura ‘’Bukan Perpanjangan’’ Dari Pulau Jawa
Ibarat seorang perawan muda yang molek, Madura dilirik dan menjadi perbincangan banyak pihak. Bukan hanya di Indonesia bahkan sampai ke penjuru internasional. Dan, ini bukan lantaran Madura dikenal mempunyai potensi sumber alamnya yang berlimpah ruah seperti gas alamnya di Pagerungan Pulau Sapeken Sumenep, Camplong dan lain sebagainya. Namun masyarakat Madura yang memiliki struktur dan kultur sosial budaya, adat istiadat, dan dialeknya yang berbeda dengan daerah lainnya telah ikut memberi kesan yang sangat menarik. Termasuk juga dengan kontribusinya dalam khasanah kebudayaan nasional.
Meski begitu, jangan dikira, masih ada, bahkan banyak yang menilai, kalau Madura dianggapnya sebagai “perpanjangan” dari Jawa. Sehingga, wajar ketika orang mau mendiskusikan mengenai Madura cenderung selalu dianggap sangat tidak menarik. Malahan, secara estrem ada yang mengatakan tidaklah penting memperhatikan Madura, sehingga kalau ingin mempelajari Madura cukup hanya dengan mempelajari Jawa. Karena dengan mempelajari Jawa sudah inklusif Madura.
Padahal kalau kita melihat struktur dan kulturnya yang teramat khas, justru Madura sangat menarik sekali untuk dijadikan sebagai sebuah kajian ilmiah. Dr. A. Latief Wiyata, seorang Antropolog asal Sumenep dalam sebuah seminar yang diadakan Universitas Bangkalan beberapa waktu lalu mengatakan, insan akademik masih kurang berminat terhadap tema Madura.
Menurutnya, hal itu selain karena didasari oleh alasan-alasan yang terkesan ilmiah, namun juga tidak jarang alasan mereka justru hanya berlandaskan pada alasan-alasan yang bernada emosional. ”Umumnya alasan itu berkaitan dengan masalah keberanian atau tidak untuk mengunjungi Madura. Dan dari visi akademik, kenyataan ini memang cukup memprihatinkan,’’ tambahnya.
Padahal, Huub de Jonge, salah seorang pakar budaya Madura dalam bukunya mengatakan, bahwa Madura secara demografis-antropologis, termasuk kelompok lima besar setelah Jawa, Sunda, Bali dan Minangkabau.