(Refleksi Madura Pasca Dua Tahun Suramadu)
Iskandar Dzulkarnain, M.Si.
Madura dalam Kilasan Sejarah
Sekalipun penelitian dan penulisan sejarah umum Madura belum banyak dilakukan orang, namun berdasarkan ekstrapolasi data dan informasi yang ada dapatlah direkonstruksi suatu lintasan masa lampau Madura yang dimulai sekitar 4000 tahun yang lalu. Bukti-bukti peninggalannya yang ditemukan di pulau ini menunjukkan bahwa leluhur orang Madura itu datang dari utara dan diketahui berkebudayaan neolitik.
Dengan demikian, mereka sudah bisa mengupam atau mengasah batu menjadi kapak persegi, yang dapat pula dijadikan pacul. Penguasaan teknologi pacul ini mengisyaratkan bahwa mereka telah mampu bercocok tanam, walaupun jenis tanamannya hanya terbatas pada talas, ubi, gadung, pisang, dan jawawut. Diketahui pula bahwa mereka mampu beternak dan memelihara anjing untuk keperluan berburu. Selain itu, karena datang dengan mengarungi lautan terbuka, mereka tentu merupakan bangsa pelaut.
Madura sebagai sebuah pulau yang berada di ujung timur pulau Jawa, semakin dikenal seiring dengan adanya jembatan penghubung antara Surabaya dengan pulau Madura yakni Jembatan Suramadu. Jembatan terpanjang di Indonesia bahkan di Asia Tenggara, dengan panjang 5,43 KM. Selain itu, Madura juga dikenal dengan berbagai kelebihan lainnya. Di antaranya, budaya, agama, politik, ekonomi, gender, dan wisatanya.
Menurut sejarahnya kata Madura awalnya berasal dari sebuah dongeng atau legenda, salah satu orang di antara pendatang yang dilahirkan di atas rakit (ghetek) yang ditumpangi ibunya saat melintasi laut lepas. Legenda tersebut berawal dari negara Mendangkumalan yang konon merupakan ibukota dari kerajaan Kalingga dengan raja bernama Sangjangtunggal. Raja tersebut memiliki seorang putri yang bernama Bendoro Gung, yang kemudian hari diketahui hamil tanpa suami.
baca juga: Asal Usul Leluhur Orang Madura
Dikarenakan malu maka sang Raja menyuruh sang Patih untuk membunuh putrinya dan tidak diperkenankan pulang ke kerajaaan sebelum dapat membunuhnya. Kemudian, sang Patih membawa putri raja tersebut ke hutan untuk dibunuhnya, namun setiap kali pedangnya akan menyentuh leher sang putri setiap kali itu pula pedang tersebut jatuh ke tanah, hal ini terjadi sampai tiga kali.
Sehingga sang patih kemudian memberi kesimpulan bahwa kehamilan sang putri adalah mukjizat. Karena ketidakmampuannya maka sang putri dihanyutkannya ke laut bebas dan sang patih kemudian memakai baju poleng dan merubah namanya menjadi kiai Poleng. Kemudian sang putri sampai ke sebuah pulau yang saat itu terpecah menjadi dua, gunung Gegger dan gunung Pajuddan dengan melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Sagoro (Abdurrahman, 1971: 1-5).
Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa Madura berawal ketika para penganjur agama dari India tiba di Nusantara di abad-abad awal millineum pertama, ada juga di antara mereka yang sampai ke pulau itu. Kaum Brahmana yang terhitung terpelajar tadi rupanya menemukan pulau yang indah, sehingga dengan menggunakan bahasa Sansakerta dinamakanlah pulau tersebut Madura (Mien A. Rifa‟I, 1993: 9).
Dalam bahasa Sansakerta Madura berarti permai, indah, molek, cantik, jelita, manis, ramah, dan lemah lembut. Hal inilah yang kemudian beberapa abad Jayendradewi Prajnaparamita salah seorang istri raja Majapahit pertama Sri Kertarajasa Jayawardana, melambangkan gunacaranurupita satyapara (watak sangat setia dan kaya akan sifat baik dan berguna) serta memiliki anindyeng raras (kecantikan rupa tanpa cacat) dibandingkan dengan prakarti (pekerti, watak, tabiat, kodrat) pulau Madura (Bustami, dalam Aswab Mahasin, edit, 1996: 326).