Historisasi Peradaban Madura dalam Berbagai Bentuk

Kilas Balik Peradaban Madura

Ketika kita berbicara tentang peradaban, maka kita juga harus berbicara tentang sejarah kelahirannya. Di mana kelahiran peradaban itu sendiri berawal dari sejarah manusia. Sudah banyak ilmuwan yang menjelaskan tentang sebab kemunculan, perkembangan, keterkaitan, pencapaian, kemunduran, dan kejatuhan peradaban, yang telah tereksplorasi dengan sangat baik melalui para sejarawan, sosiolog, maupun antropolog. Seperti Max Weber, Emile Durkheim, Oswald Spengler, Pitirim Sorokin, Arnold Toynbee, Alfred Weber, Christopher Dawson, dan lain-lain.

Menurut tokoh-tokoh tersebut, ketika kita berbicara peradaban ada lima persoalan sebagai bentuk kesepakatan dalam kaitan proposisi-proposisi sentral mengenai hakikat, identitas, dan dinamika dari masing-masing peradaban. Pertama, sebuah pembedaan dapat ditemukan di antara perbagai peradaban, baik yang singular maupun plural. Kedua, sebuah peradaban adalah entitas cultural.

Ketiga, setiap peradaban selalu bersifat komprehensif yang tidak satu pun dari konstituen kesatuannya dapat sepenuhnya terpahami tanpa mengacu pada cakupan (wilayah) peradaban. Keempat, peradaban-peradaban bersifat fana namun juga hidup sangat lama, ia berkembang, beradaptasi, dan sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia, realitas-realitas yang benar-benar dapat bertahan dalam waktu lama, kekuatan dan esensi utamanya adalah kontinuitas historisnya. Kelima, peradaban-peradaban merupakan entitas cultural bukan entitas politik (Samuel P Huntington, 2000: 38-47)

Berbeda halnya dengan Mien A Rifa‟I (2007) yang mendefiniskan peradaban (kebudayaan) sebagai keseluruhan pengejewantahan batin, pikiran, dan akal budi suatu suku bangsa, yang terakumulasikan berdasarkan pelajaran pengalaman hidupnya. Sehingga, peradaban ke-Madura-an membahas tentang perkembangan kecerdasan, pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan pengetahuan, ilmu dan teknologi, kepercayaan spiritual, seni budaya, selera, nilai, hukum, budi pekerti, adat, dan tatanan bermasyarakat.

Dari berbagai bentuk pengertian tentang peradaban tersebut kita bisa membuat ringkasan singkat tentang historisasi (sampai saat ini) peradaban Madura dalam berbagai bentuk di antaranya (disadur dari Mien A Rifa‟I, 2007: 42-120):

baca juga: Peradaban Maritim Madura Telah Lenyap?

Religi

Peradaban keagamaan di Madura sejak zaman animism sudah lahir, di antaranya lahirnya bangunan bato kennong (batu kenong) atau bato egghung (batu gong) dan menhir di Pulau Sepudi. Kepercayaan ini terlihat juga dari nama desa (kampong-kampong) yang ada di Madura, yakni Candi, Mandala, Sema dan lain-lain. Selain itu juga lahirnya pesantren besar – yang kemudian hari melahirkan tokoh-tokoh Islam di Indonesia – akhir abad XIX di desa Kademangan dengan pimpinannya KH. Muhammad Khalil. Sehingga dapat dipahami pada sa‟at itu Syarikat Islam sebagai gerakan politik Islam berkembangn sangat pesat di Madura.

Sebelum itu, bahasa Madura juga sudah menyerap ratusan kata dari bahasa Arab, seperti mahrib, makam, makhlok, ma’mom, malaekat, mayyit, molod, dll. Ada pula kosakata bahasa Madura serapan dari bahasa Sansakerta yang lalu dibahasatinggikan dengan memakai bahasa Arab, seperti apowasa dihaluskan menjadi aseyam, se mate menjadi almarhum, dan asambhajang menjadi asalat.

Lebih lanjut, masyarakat Madura juga menyerap bulan-bulan tarikh Hijriyah sembari terus memperhatikan makna keagamaannya, seperti Sora (Muharram), Sappar (Shafar), Molot (Rabi‟ul Awal dari Maulud), Rasol (Rabi‟ul Akhir dari Rasulullah), dan lain sebagainya. Sejalan dengan itu, nama-nama muslimin juga dipakai oleh orang Madura dalam memberikan nama anak-anaknya. Dalam menjalani kehidupan beragama sebagai umat Islam, Madura mayoritas mengikuti aliran ahlus sunnah wal jama’ah dan menganut mazhab Imam Syafi‟i. Hari-hari besar Islam, pernikahan, kelahiran, membangun rumah, pertanian, dan laut juga seringkali dirayakan dengan cara-cara „Islami‟.

Bahasa

Bahasa Madura merupakan bahasa daerah yang dipakai oleh orang Madura sebagai alat komunikasi dalam interaksi sosialnya. Selain itu, bahasa Madura juga digunakan untuk menunjukkan identitas dan eksistensinya sebagai salah satu suku terbesar ketiga (Kompas, 24 September 2005) yang ada di nusantara ini yaitu suku Madura. Meskipun pada saat ini banyak persoalan yang dihadapi mengenai problematikan eksistensi bahasa Madura, di antaranya kurang bangganya pemuda-pemudi Madura menggunakan bahasa Maduranya serta kurangnya kepedulian dinas pendidikan untuk melestarikannya dengan hanya memberikan mata pelajaran bahasa Madura sampai Sekolah Menengah Pertama (, Keker, Radar Madura, 22 November 2009).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.