Cara Komunikasi melalui Musik Glundhângan dengan Merpati dan Masyarakat Sekitar

Arisan Paguyuban Merpati Putih di Keranjingan, Foto: Hidayatullah (2018)

Dalam kaitannya dengan hubungan sosial masyarakat Madura, musik glundhângan dan tradisi dhârâ ghettakan dapat dibaca sebagai media komunikasi simbolis. Sebagaimana Geertz yang membaca budaya se- bagai sebuah teks yang berkelindan jaringan makna-makna simbolis, ia membutuhkan penafsiran yang sifatnya mendalam dan menyeluruh dari pelaku budayanya. Konteks musik glundhângan dan merpati dalam masyarakat Madura dapat dimaknai sebagai ekspresi yang merepresentasikan derajat sosial. Derajat sosial di masyarakat ditandai dengan seberapa dominan (kuat) eksistensi empu merpati dalam kelompok masyarakat. Orang yang mampu memenangkan setiap pertandingan dhârâ ghettakan (totta’an dhârâ/sering mendapatkan merpati milik lawan) akan mendapatkan pengakuan dari masyarakat atas kehebatan ilmunya. Guna memenangkan pertandingan, setiap empu merpati mempersiapkan dirinya dengan cara mengasah ilmu pengasihan, melatih menerbangkan merpati dengan jarak tempuh tertentu, serta rajin merawat merpati. Memenangkan pertandingan merpati ghettakan sama saja artinya dengan memenangkan pertan- dingan kekuatan ilmu pengasihan antara empu (manusia) dan merpati. Dalam hal ini, sebetulnya merpati hanya sebagai media penyaluran hasrat empu untuk bertarung satu sama lain.

Kepemilikian ilmu pengasihan merupakan keistimewaan ter- sendiri bagi para empu. Bagi mereka, makin tinggi ilmu pengasihan, ia akan makin dihormati dan disegani di lingkungan masyarakat. Hal itu sebagaimana kisah Mas Budi berikut.

“Sesama empu merpati itu saling bersaing ilmu. Makin banyak ajian yang dimiliki dan makin tinggi kedalaman ilmunya, maka dialah yang akan memenangkan pertandingan. Kita bisa melihat ajian yang dikuasai oleh empu itu melalui cara terbang merpatinya. Di sini, ajian yang umum dipakai adalah dhâddhâli potè. Kalau empu pakai ajian ini, terbang merpatinya akan membentuk seperti formasi angka delapan dan terbang dengan lamsam (pelan). Kalau lawannya juga pakai ajian yang sama, maka yang diadu adalah kekuatan pengasihannya. Empu yang kuat tirakatnya dan sering tangngi malem (tidak tidur malam hari untuk bertirakat) akan menang. Empu yang kalah, merpatinya akan ter- pengaruh dengan koloni merpati lawan dan beberapa ekor akan terbang bergabung dengan koloni merpati milik lawan. Selain ajian dhâddhâli potè, ada satu ajian lagi yang dipakai untuk dhârâ ghettakan, yaitu ajian poter giling. Ajian ini adalah ajian paling kuat, tetapi berbahaya jika diamalkan karena si empu akan menerima konsekuensi yang berat, yaitu karas, artinya harta yang dimilikinya tidak akan barokah, cepat habis, dan tidak pernah puas. Merpati saya di sini semuanya pakai poter giling. Bukan saya yang mengamalkan, tetapi ibu saya. Dulu, ajian ini dipakai embah (kakek) saya, lalu sekarang diturunkan ke keturunannya. Orang yang mengamalkan ajian poter giling biasanya berusia sepuh, karena mereka sudah tidak terbebani masalah duniawi. Kalau saya, saya masih ragu mengamalkan ajian poter giling. Ajian ini diamalkan melalui sellekkan (disalurkan melalui makanan) dan tong-tong matèngghi. Mer- pati yang diisi dengan ajian poter giling terbangnya khas. Awalnya dia akan terbang lurus dengan cepat, lalu tiba-tiba menghilang, beberapa menit kemudian mereka turun dari ketinggian dengan berputar-putar di atas posisi pajhudhun-nya. Burung saya sering dipuji oleh orang karena cara terbangnya. Mereka tahu kalau burung saya ini pakai ajian poter giling. Keuntungan mengamalkan poter giling itu ekasengkaè orèng (dihormati orang lain).” (Budi, Komunikasi Pribadi, 12 Februari 2019).

Penuturan Mas Budi mengilustrasikan bahwa setiap empu akan saling menguatkan batinnya melalui penguasaan ilmu pengasihan. Ilmu pengasihan yang biasa diamalkan oleh empu merpati ada dua jenis, yaitu dhâddhâli potè dan poter giling. Penggunaan ilmu pengasihan ini akan berdampak pada cara terbang merpatinya. Masyarakat kemudian menandai (menilai) kepemilikan ilmu pengasihan seorang empu dengan bagaimana cara terbang burung merpatinya.

Adu ilmu pengasihan dalam tradisi dhârâ ghettakan digunakan dalam dua cara. Pertama, mengamalkan ilmu pengasihan yang ditujukan untuk merpati miliknya dan kedua, mengamalkan ilmu pengasihan yang ditujukan untuk menyerang merpati milik lawan. Penggunaan ilmu pengasihan yang pertama telah dijelaskan dalam penjelasan sebelumnya, yakni empu hanya berfokus memberikan amalan pengasihan pada merpati miliknya melalui sellekkan (makanannya) dan bunyi tong-tong matèngghi. Penggunaan ilmu pengasihan yang kedua memiliki persamaan dengan menggunakan ilmu pengasihan kepada manusia. Cara yang kedua disebut dengan sèpèr (nyèpèr), bertujuan untuk mengambil burung merpati milik lawannya yang diincar. Mas Budi dan Pak Salam menceritakan proses sèpèr dalam tradisi dhârâ ghettakan sebagai berikut.

“Jika ingin mengambil merpati milik lawan, kita harus tahu terlebih dahulu kelemahan lawan, yaitu saat dia lengah. Sama seperti akan manèser (melet) seorang wanita, yaitu ketika dia sedang ‘kotor’ (datang bulan/haid). Empu yang sering tidur di malam hari dan jarang tirakat akan mudah sekali untuk dikalahkan, sedangkan empu yang jarang tidur itu sulit untuk dikalahkan. Kita harus tahu selanya, kapan dia lengah. Ketika sudah tahu kelemahannya, kita tinggal mengamalkan ilmu pengasihan. Yang diserang pertama adalah empu merpatinya dulu, bukan merpatinya. Kalau empu sudah bisa dimasuki ilmu pengasihan, otomatis burung merpatinya akan terpengaruh juga. Burung merpati itu punya pertalian batin dengan empunya. Seandainya empunya sulit dikalahkan, yang kita serang berikutnya adalah istrinya. Ada dua kemungkinan yang bisa dilakukan, yaitu menyerang empunya atau istrinya. Dalam melakukan ilmu pengasihan kita harus menyebut jenis burung merpati yang kita incar dalam doa (mantra) misalkan khususan dhârâ ghât mèrah, atau dhârâ paol. Saya sering melakukan juga dulu. Setelah tiga hari melakukan amalan, biasanya ada pertanda mimpi berupa datangnya tamu. Pagi harinya, ternyata benar ada dua burung merpati yang saya incar datang ke pajhudhun milik saya.” (Budi & Salam, Komunikasi Pribadi, 22 Januari 2019).

Gambar 2.4 mengilustrasikan bahwa persaingan dan pertarun- gan antarempu merpati ghettakan tidak hanya berlangsung di arena totta’an dhârâ, tetapi juga dalam keseharian. Dalam kehidupan sehari- hari, para empu sebenarnya hidup bersahabat dan tampak biasa saja laiknya orang biasa yang tak berselisih. Akan tetapi, berkaitan dengan merpati, mereka nampak bersaing satu sama lain. Beberapa informan mengatakan bahwa mereka saling berteman, tetapi hanya moso dhârâ (musuh dalam tradisi merpati).

Pernyataan tersebut menimbulkan kecurigaan bahwa sebenarnya ada sesuatu terselubung yang sengaja mereka sembunyikan. Mereka tidak menampakkan suasana permusuhan dalam realitas, tetapi persaingan hanya muncul dalam media merpati. Setiap empu saling bersiaga setiap malam (tidak tidur dan bertirakat), takut-takut ada empu yang menyerang koloni merpati miliknya. Perlu diketahui bahwa adu kekuatan ilmu pengasihan dalam tradisi dhârâ ghettakan hanya terbatas pada media merpati saja (bukan manusia), artinya jarang dijumpai peristiwa yang mencelakakan fisik empu merpati beserta keluarganya. Menjaga kesetiaan merpati, memenangkan pertandingan, dan merebut merpati milik lawan adalah strategi setiap empu dalam membentuk eksistensi dirinya serta upaya untuk meningkatkan derajat sosial di masyarakat. Maka tidak heran jika di Desa Soca Pangepok, banyak warga yang memelihara merpati hingga lebih dari satu pajhudhun dan sering menyelenggarakan nyata karena makin banyak merpati artinya makin memiliki nyali yang besar, sering memenangkan pertandingan, dan makin tinggi pula derajat sosial di mata masyarakat.

Musik glundhângan dan tradisi dhârâ ghettakan juga dapat ditafsir sebagai pertarungan harga diri dan ejawantah dari simbol maskulinitas orang Madura. Di Desa Soca Pangepok, tradisi memelihara merpati ghettakan hidup seperti sebuah keniscayaan, akan menjadi tabu bagi masyarakat khususnya seorang laki-laki untuk tidak memelihara merpati ghettakan. Ju’ Salam dan Mas Sup acapkali mendapat sindiran dari sesama kawan di desanya karena tidak memelihara merpati.

“È ka’ento mon ta’ bengal ngobu dhârâ nèka ècokoco, kaulâ segghut èkoca’ bhâreng kanca, ‘arèya bengkona randhâ ye?’, èkoca’ bengkona randhâ polana sobung pajhudhunna, artèna sobung lalake’na, otabâ ta’ bengal ka rèsikona ngobu dhârâ.” (Sup & Ju’ Salam, Komunikasi Pribadi, 29 Desember 2018).

“Di sini, kalau tidak berani memelihara merpati akan disindir. Saya sering disindir teman, ‘ini rumahnya janda ya?’, dibilang rumahnya janda karena tidak ada pajhudhun-nya, artinya tidak ada lelakinya atau tidak berani mengambil risiko untuk memelihara burung merpati.”

Di Desa Soca Pangepok, laki-laki yang tidak memelihara merpati tidak dianggap sebagai lelaki sejati karena ia dinilai takut dengan risiko. Maka dari itu, muncul istilah “rumahnya janda”. Memelihara merpati dikenal penuh risiko karena seorang lelaki dituntut untuk turun ke gelanggang pertarungan, tidak hanya melakukan pertarung- an merpati, tetapi juga pertarungan ilmu pengasihan. Masyarakat Madura memang terbiasa hidup dengan penuh risiko dan menyukai sebuah tantangan. Maka dari itu, jika seorang laki-laki tidak berani memelihara merpati dengan segenap risikonya, sewajarnya ia tidak pantas disebut sebagai laki-laki sejati.

Perihal pertarungan harga diri dan gengsi juga nampak jelas dalam perayaan nyata yang melibatkan musik glundhângan. Makin meriah acara nyata yang diselenggarakan, makin besar pula gengsi yang diperoleh. Beberapa orang yang dianggap tokoh oleh masyarakat di Desa Soca Pangepok terkadang rela mengeluarkan uang beberapa juta rupiah untuk menyewa tandâ’ bini’ (penari dan pesinden wanita) untuk dihadirkan dalam perayaan nyata (Sup & Ju’ Salam, Komunikasi Pribadi, 29 Desember 2018).

Secara hitungan ekonomis, perayaan nyata sebetulnya sering kali tidak menguntungkan bagi yang menyelenggarakan. Harga burung yang didapatkan tidak pernah sepadan dengan seberapa besar ongkos yang dikeluarkan oleh tuan rumah. Akan tetapi, ada nilai kultural lain yang ingin dicapai melalui perayaan nyata tersebut. Nyata adalah bahasa gengsi dan pertaruhan harga diri empu merpati ghettakan. Maka dari itu, nyata menjadi niscaya untuk diselenggarakan.

Sama halnya seperti tradisi aduan sapi dan karapan sapi di ka- langan masyarakat Madura, tradisi musik glundhângan dan dhârâ ghettakan merupakan wahana penyaluran hasrat konflik antarmanusia yang produktif. Tradisi ini muncul untuk menghindari konfron- tasi secara langsung (fisik). Dalam budaya Madura dikenal istilah carok sebagai model penyelesaian konflik secara fisik. Berdasarkan penelitian Wiyata (2002, 103), carok biasanya dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu kebanyakan karena gangguan terhadap istri, kesalahpahaman, masalah tanah warisan, masalah utang-piutang, serta masalah kesopanan dan pergaulan lainnya. Dari sekian banyak kasus yang terjadi, yang paling rentan terjadi dan muncul adalah tentang konflik gangguan terhadap istri. Mengganggu istri orang lain dalam masyarakat Madura berarti mempermainkan harga diri suaminya dan menyebabkan perasaan malo. Maka dari itu, sang suami layak untuk mengajaknya berduel (carok). Perasaan malo muncul sebagai akibat dari perlakuan orang lain yang mengingkari atau tidak mengakui kapasitas dirinya (Wiyata, 2013, 17).



Tradisi dhârâ ghettakan hadir sebagai peralihan hasrat bertarung masyarakat Madura. Alih-alih bertarung secara langsung laiknya carok, tradisi dhârâ ghettakan merepresentasikan pertarungan manu- sia secara simbolis melalui hewan merpati. Konflik yang sering me- nyebabkan carok di masyarakat Madura perihal gangguan terhadap istri termanifestasi dalam tradisi dhârâ ghettakan. Merpati dalam tradisi dhârâ ghettakan disimbolkan sebagai subjek yang feminin laiknya istri. Seorang empu merpati rutin memberikan mantra pe- ngasihan terhadap merpatinya laiknya kepada seorang wanita yang dicintainya. Ia juga dituntut menjaga pertalian batin agar merpatinya tetap setia terhadapnya dan tidak dapat diguna-guna oleh empu yang lain. Bahkan, di beberapa momen seperti semalam sebelum acara totta’an dhârâ, si empu rela menemani merpatinya tidur di atas pajhudhun. Dalam pertandingan dhârâ ghettakan, yang dipertanding- kan adalah tingkat kesetiaan merpati, sama halnya ketika bagaimana seorang lelaki Madura menjaga kesetiaan istrinya. Dominasi seorang empu terhadap merpatinya sama halnya dengan dominasi seorang lelaki Madura terhadap istrinya (Sarmini, 2008, 39). Konsep suami (lelaki) yang berwibawa dan punya harga diri dalam budaya Madura adalah ia yang mampu menjaga kesetiaan istrinya dan rela mengorbankan dirinya ketika istrinya diganggu oleh orang lain. Pada tradisi dhârâ ghettakan, konflik dan persaingan dalam merebut dan mempertahankan kesetiaan merpati tidak dijalankan melalui meka- nisme kekerasan fisik (carok), tetapi melalui arena totta’an dhârâ.

Tradisi dhârâ ghettakan dalam budaya masyarakat Madura sampai saat ini masih hidup dan berkembang. Memelihara merpati berkaitan erat dengan kepercayaan masyarakat terhadap mitos-mitos burung merpati, seperti telah dibahas sebelumnya. Mitos tersebut bagi masyarakat Madura terbukti efektif untuk menghindari terjadinya pertarungan fisik antarmanusia. Termasuk juga tidak ada judi uang dan/atau adu fisik hewan karena yang diadu hanyalah kesetiaan antara merpati peliharaan dan empunya melalui medium adu kekuatan ilmu pengasihan. Merpati dalam alam pikir masyarakat Madura diposisikan sebagai simbol feminin. Dengan demikian, dominasi sisi maskulinitas lelaki Madura telah terejawantah melalui tradisi dhârâ ghettakan.

Penggunaan musik tong-tong dan glundhângan sebagai medium komunikasi empu kepada merpatinya dan masyarakat sekitar dapat dibaca sebagai cara komunikasi masyarakat Madura dalam hubung- an sosial. Musik glundhângan dan merpati merupakan artikulasi masyarakat Madura yang merepresentasikan derajat sosial, pertaruhan harga diri, simbol maskulinitas, dan penyaluran hasrat konflik antar- manusia melalui medium seni. Praktik seni musik glundhângan hari ini juga sudah mulai berkembang dan memiliki fungsi alternatif di masyarakat, tidak hanya untuk adu dhâra ghettakan, tetapi juga menjadi penghibur dalam acara perkawinan, kampanye, dan acara seremonial lainnya. Tentu dengan adanya pengembangan fungsi seni yang awalnya sebagai ritual menjadi sebuah hiburan adalah upaya strategis yang telah dilakukan oleh para pelaku tradisi dhâra ghettakan. Kita patut mengapresiasi kemampuan mereka dalam melestarikan tradisinya.

*****

Diangkat dari ebook Tabbhuwân: Seni Pertunjukan Masyarakat Madura di Tapal Kuda, Bab: Seni Ritual, Penulis Panakajaya Hidayatullah, Penerbit BRIN, 2024.

_________________

Tulisan bersambung

1. Glundhângan dan Merpati dalam Praktik Sosial-Budaya
2. Musik Glundhângan sebagai Medium Komunikasi
3. Cara Komunikasi melalui Musik Glundhângan dengan Merpati dan Masyarakat Sekitar

Writer: Panakajaya HidayatullahEditor: Lontar Madura

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.