Raja-Raja Sumenep Masa Pra Islam (1271 – 1527 M)

Moh. lmam Farisi

arya wiraraja
Arya Wiraraja dalam illustrasi

Bangkit dan runtuhnya kerajaan-kerajaan di Indonesia adalah masalah “wangsa” atau “dinasti”. Artinya kerajaan itu timbul atau tenggelam karena adanya suatu dinasti yang kuat, yang mampu mendirikan kerajaan sendiri atau merebut kekuasaan dinasti  wangsa lain. Di lihat dari aspek ini, Schrieke menyimpulkan bahwa kerajaan dalam sega/a keragaman dan tahapnya, adalah organisasi kekuatan atau organisasi kekuasaan, yang merupakan tipe kedua susunan ketatanegaraan (1974: 13-16, 28-31)

Dengan demikian kekuasaan dari suatu kerajaan akan terus berkesinambungan di antara atau di dalam wangsa atau dinasti itu sendiri. Sehingga timbulnya “homini novi” mengharuskan dirinya untuk melakukan tindakan legitimasi kekuasaannya. Dengan berbuat demikian maka akan tercipta ketentraman dan kedamaian bagi kelangsungan kekuasaannya, walaupun sejarah te!ah mencatat bahwa tidak selamanya hal demikian terjadi.

Di dalam sejarah kerajaan di Madura, khususnya Sumenep, pandangan di atas juga berlaku, seperti yang akan kita lihat dalam pembahasan tulisan ini.

Aria Wiraraja Adipati Pertama Kerajaan Sumenep

Berita tertua yang menyebutkan adanya seorang penguasa di Sumenep adalah Pararaton, seperti diuraiakan sebagai berikut

‘… Adalah seorang pegawainya, tempat berlindung buyut di Nangka, bernama Banyak Wide, diberi gelar Arya Wiraraja. Sri Kertanegara tidak percaya kepadanya, (karenanya) Ia dilorot dan kedudukannya sebagai Demung, djadikan Adipati di Sumenep” (Mulyana, 1983, 90).

Dari berita Pararaton di atas, kita ketahui bahwa Arya Wiraraja adalah seorang Adipati di Sumenep, yang sebeIumnya sebagai Demung (Rakryan Demung). Hakl ini disebabkan oleh ketidakpercayaan Kertanegara kepadanya, Bila kita dasarkan pada sumber sejarah yang ada, maka nampaknya pemecatan Arya Wiraraja itu erat kaitannya dengan pelaksanaan politik nusantara dari Kertanegara, yang bersifat ekspansionis. Suatu politik pembaharuan yang berusaha meninggalkan paham polilik tradisiorial yang telah dianut semenjak raja Airlangga, yang hanya berkisar pada Janggala – Panjalu (Casparis, 1970).

Sebagai paham baru tentunya akan mendapat tantangan dari para penganut paham lama. Untuk realisasi politiknya tentunya wajar bila Kertanegara tidak segan-segan menyingkirkan para pembesar yang merintanginya dan menggantikannya dengan tokoh-tokoh yang mendukung paham politiknya. Hal ini dapat dibuktikan dengan pemecatan Mpu Raganatha sebagai Amangkubumi, pemecatan Tumenggung Wirakerti sebagai Tumenggung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.