Pernah dulu, menurut Saidi, Pak Sukur yang sudah udzur didatangi oleh Rektor Universitas Jember. Tujuannya salah satunya mengenai rencana menghapus tanda baca hamza atau bhisat (‘) dalam bahasa Madura, untuk menyelaraskan dengan penulisan bahasa Jawa dan Indonesia, atau diganti dengan huruf “k”. Tentu saja rencana itu ditolak oleh Pak Sukur. Dan setelah mendapat penjelasan dari Pak Sukur, rencana itu harus diurungkan, karena jelas berakibat bisa menghilangkan makna.
“Aik (ayah; red) memberi contoh dua kata yang pelafalannya hampir sama seperti emma’ (ibu) dengan emmak (kakak lelaki), atau embu’ (ibu) dan embhuk (kakak perempuan). Sehingga peran hamza tidak bisa dihilangkan,” kata Saidi.
Contoh lainnya yang diberikan Pak Sukur dalam hal reduplikasi suku kata. Contoh kata “rata”, maka ketika diulang menjadi ta’-rata’an. Sehingga ketika tanda hamza itu dihilangkan maka tidak ada maknanya lagi.
[junkie-alert style=”green”] Semasa hidupnya Pak Sukur banyak menorehkan peran dalam menjaga tradisi lisan Madura ini, yang waktu itu sudah menjadi serpihan-serpihan kecil akibat perubahan jaman dan pengaruh budaya asing. Bersama tokoh-tokoh lainnya Pak Sukur memprakarsai pelaksanaan Sarasehan Bahasa Madura tahun 1973, yang kemudian melahirkan rumusan resmi Bahasa Madura. [/junkie-alert]
Bagaimana dengan Kelg Besar Kudonatpodho & Pratamingkusumo…saya ada Jatah Pesarean Di ASTA TEGGIH….heeee…was
Kami berharap, anda bisa bantu menulis sekilas keluarga Besar Kudonatpodho & Pratamingkusumo untuk Lontar Madura. Terima kasih