Wirabhumi akhirnya dapat dikalahkan. Eksekutor dalam penaklukan Bhre Wirabhumi adalah Raden Gajah (Bhre Narapati), seorang tokoh yang kelak menjadi salah satu patih Majapahit dan sangat membenci Joko Tole. Pada 1406 kepala Bhre Wirabhumi berhasil dibawa ke ibukota Majapahit. Pasca usainya Perang Paregreg pada tahun itu, sementara waktu Kerajaan Majapahit menjadi damai dan tenteram. Perang Paregreg telah melumpuhkan sendi-sendi Majapahit
Tidak perlu berkhayal akan dominasi dan ekspansi yang luas seperti era Hayam Wuruk maupun sekadar bermimpi guna menghidupkan hal serupa. Kerajaan ini sekarang harus berpikir tentang bagaimana mempertahankan integritasnya ataupun setidaknya ialah eksistensinya. Dr Slamet Muljana (2007: 179) memberikan ulasan tentang bagaimana Paregreg mengakibatkan perpecahan dan kemunduran terus-menerus kepada Majapahit
*…Perekonomian negara dan rakyat menjadi kocar-kacir akibat Perang Paregreg Rakyat yang semestinya bekerja di ladang untuk kepentingan produksi pangan, dikerahkan ke medan perang Perahu yang semestinya digunakan untuk berdagang, digunakan untuk mengangkut tentara Ringkasnya. Perang Paregreg membawa kehancuran ekonomi dan politik Majapahit
Perang Paregreg bukanlah satu-satunya perang saudara sepeninggal Patih Gajah Mada Bahkan, boleh dikatakan bahwa perang ini adalah permulaan rentetan perang saudara demi perebutan kekuasaan antara para keturunan Raja Kertarajasa Jayawardhana. Kekalahan Bhre Wirabhumi dalam dalam Perang Paregreg menimbulkan balas dendam di kalangan pengikutnya terhadap keturunan dan pengikut Wikramawardhana”
Ada sebuah tragedi di tengah Paregreg yang memperlihatkan betapa lemahnya ekonomi Majapahit akibat perseteruan internal yang telah terjadi sejak 1401-bukan tidak mungkin sebelum terjadinya konflik terbuka pada 1404 telah sering terjadi pertempuran-pertempuran kecil (skirmishes) antara Majapahit dan Blambangan-tersebut Pada 1405, di Pulau Jawa melawat seorang utusan China (yang diperintah Dinasti Ming) bernama Cheng Ho.
Pada 1406, Perang Paregreg berlangsung di wilayah Kerajaan Wirabhumi. Ketika itu bala tentara Wikramawardhana datang menyerang sehingga 170 orang pengikut (anak buah) Cheng Ho terbawa menjadi korban. Walaupun Wikramawardhana lekas meminta maaf kepada kaisar China, tetapi karena kecelakaan tersebut dia dijatuhi denda dan harus membayar emas seharga 60.000 tael. Setelah 1408 Majapahit hanya bisa membayar sebanyak 10.000 tael, yang selebihnya dibebaskan saja oleh Kaisar China. Semenjak itu, hubungan antara Jawa dan China sempurna kembali sehingga kirim-mengirim utusan berlaku seperti biasa (Yamin, 2008: 93)
Majapahit kini telah kehilangan “taring” yang pernah ia tunjukkan dalam pembentukan awalnya oleh Raden Wijaya saat pernah mengusir tentara Mongol, kini kerajaan itu melemah oleh perpecahan serta dikasihani oleh negeri China.
Kondisi mengenai Majapahit ini mewakili kajian pada bagian sebelumnya tentang bagaimana para empu yang ditugaskan merenovasi gerbang keraton Majapahit mengalami kesulitan tanpa adanya timah putih dalam melekatkan untuk membuat perekatnya. Mustahil kiranya jika Majapahit masih berjaya tidak mampu untuk sekadar menyediakan komoditas itu demi berdirinya sebuah gerbang keraton.
Terlihat bahwa Wikramawardhana melaksanakan renovasi dengan anggaran yang minim-mungkin terbebani oleh biaya rekonstruksi pasca perang maupun oleh denda yang ditimpakan oleh China. Meski gerbang Majapahit telah berhasil dibenahi dengan peran besar sosok Joko Tole, keadaan politik tidaklah semudah itu untuk pulih dan sayangnya kerajaan ini memasuki masa keruntuhan. secara bertahap.
Keruntuhan Kerajaan Majapahit dalam sejarah kebudayaan nusantara digambarkan sebagai Sirna Ilang Kertaning Bumi (Kejayaan bagaikan Cahaya Gemilang yang Menjadi Pudar dan Tenggelam) (Pramono, 2005: 51). Pecahnya Perang Paregreg di dalam kerajaan ini kemudian dimanfaatkan oleh beberapa kerajaan kecil yang sebelumnya telah berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Mereka kemudian satu per satu melepaskan diri dari kendali pusat Majapahit di Jawa.
Selayaknya kekuasaan yang selalu menjadi pesona untuk diraih dengan dengung kemerdekaan, tampak sekali lemahnya Majapahit dalam mempertahankan kuasanya sehingga jarak bentang geografis dimanfaatkan oleh para manusia taklukannya-terutama di luar Jawa-untuk melepaskan diri. Meski begitu, bukti kehadiran Majapahit masih dapat ditemukan hingga jauh ke luar wilayah Indonesia di masa modern, sederhananya ialah senjata keris yang secara luas diklaim sebagai senjata tradisional di beberapa tempat di kepulauan nusantara.
Bahkan orang Melayu Moro di Filipina bagian selatan memiliki jenis senjata tradisional bernama Sundang, yakni modifikasi bentuk keris menjadi senjata pedang fungsinya lebih dikhususkan untuk berperang (bukan hanya sebagai senjata seremonial/pusaka)
Madura yang berada di bawah kendali Majapahit kala itu tidak mengikuti sikap beberapa wilayah taklukan yang melepaskan diri. Alasan ini tampaknya menyangkut beberapa faktor yang sejak awal telah mengikat Madura dengan Jawa, selanjutnya lebih jauh lagi alasan tersebut diperkuat dengan hubungan Majapahit dan Madura. Setidaknya terdapat tiga alasan yang melatarbelakangi hal ini.
Pertama, hubungan kultur historis Jawa dan Madura yang telah erat sejak berabad abad silam, mulai dari kepercayaan bahwa daratan Jawa yang dahulunya menyatu dengan Madura hingga keyakinan bahwa Raden Sehara berasal dari sebuah kerajaan di Jawa.
Kedua, Madura menyadari perannya dalam membantu pembentukan Majapahit sehingga bagi orang Madura tidaklah mungkin mengkhianati apalagi menghancurkan sebuah kekuatan politik yang mereka bangun di bawah pimpinan figur penting bernama Arya Wiraraja.
Ketiga, meskipun terkadang kendali Jawa tidak begitu memperhatikan Madura, otoritas politik yang menjadi vassal Majapahit adalah keturunan kerabat Arya Wiraraja, maka mereka itu bukanlah sosok-sosok yang asing dalam sejarah pemerintahan di Madura sendiri. Walau demikian, tidak berarti bahwa kelemahan Majapahit pasca pemerintahan Hayam Wuruk tidak memberi pengaruh apa-apa pada Madura
______________________________________________________
Tulisan ini dinukil dari buku “Sejarah Tanah Orang Madura”, Penulis Arafah Pramasto Sastrosubroto, S.Pd dan Sapta Anugrah Ginting, S.Pd, Penerbit Leutika, Januari 2018, halaman 89 – 96