Dalam falsafah Madura, bhuppa’ bhâbhu’ ghuru rato (bapak/ibu orang tua), guru (guru/kiai/tokoh) dan pemerintah/penguasa) merupakan inti utama dalam merespon kehidupan. Kepatuhan pada kedua orangtua sudah sangat jelas dan tegas bahkan tidak dapat ditawar-tawar, apalagi digugat. Durhakalah jika seorang anak sama sekali tidak patuh pada kedua orangtua kandungnya. Bahkan saya yakin, di masyarakat dan kebudayaan manapun, kepatuhan seorang anak pada kedua orangtua kandungnya adalah mutlak. Inilah yang kemungkinan menjai alasan, mengapa toron wajib dilakukan pada saat moment tertentu. Setelah itu sesembahan kepada guru/kia dan penguasa.
Namun yang yang pasti, konsep toron diarahkan untuk jati diri (warga Madura) agar belajar menjadi rendah hati tanpa menjadi rendah diri. Sebab dengan menempatkan rumah, sebagai representasi diri, yang berada lebih rendah dari tanah rantau atau asing, sejatinya sedang menghormati orang lain, dengan menempatkan mereka pada posisi yang lebih tinggi.
Baca: Tradisi “Toron” Nilai Solidaritas Persaudaraan Warga Madura
Meski demikian, kiranya semangat toron bisa menjadi bekal kita untuk menyambut hari raya Idul Fitri. Yakni semangat untuk mengalahkan diri, mengendapkan ego, utamanya ketika kita mengulurkan tangan untuk meminta sekaligus memberi maaf. (Syaf Anton Wr/Lontar Madura)