Sampai taraf yang sangat terbatas sesungguhnya terjadi negosiasi antara budaya hirarkis dan budaya egaliter dalam masyarakat Madura, termasuk dalam bahasa Madura. Setidaknya di Porè, Cangkrèng, dan Tongghal, tiga desa di kampung saya di Sumenep, semangat egaliter dijunjung tinggi. Mereka berbicara dalam bahasa Madura enjak-iyah untuk anggota komunitas mereka, tanpa peduli dengan usia dan status sosial mereka karena mereka menganggap komunikasi enjak-iyah antara anggota komunitas (orèng diyah, orèng dinnak) sebagai tanda keintiman dan keakraban (nganggep). Berbicara ènggi-enten apalagi èiki-bunten antarmereka adalah sesuatu yang asing dan mengasingkan. Hanya kepada orang luar komunitas, mereka berbicara dalam bahasa Madura halus. (Enggkok tak abasa’a ka been, Nom. Moh abasa katon tak nganggep, ’Saya tidak akan berbahasa Madura halus denganmu, Paman. Sebab berbahasa Madura halus terasa tidak akrab’). Tetapi, seiring dengan banyaknya anak-anak tiga desa ini belajar di pesantren, pengaruh bahasa Madura hirarkis di sana lambat-laun mulai diterima. Pada titik ini, negosiasi antara bahasa egaliter dan bahasa hirarkis menghasilkan diterimanya bahasa Madura yang bersifat hirarkis secara sukarela.
Maka marilah kita terima sifat bertingkat bahasa Madura itu sebagai kekayaan bahasa Madura, sebagaimana juga bahasa etnis lain seperti Jawa dan Sunda. Apa yang penting di sini adalah bahwa pengalaman pesantren dengan bahasa Madura menunjukkan adanya kultur hirarki yang kadangkala memang amat kaku, tetapi pada saat yang sama justru memungkinkan batas-batas tertentu kekakuan hirarki itu diterobos.
Jika hirarki sosial bersifat tertutup, hirarki bahasa tetap terbuka. Para santri (yunior) tidak akan bisa menyentuh lingkaran elite pesantren secara sosial, namun mereka bisa menyentuh lingkaran elit pesantren itu dalam dan lewat bahasa. Para santri (yunior) dan elite pesantren adalah dua wilayah yang terpisah, namun keduanya dipersatukan oleh bahasa. Dengan demikian, meskipun bersifat hirarkis, bahasa Madura justru bisa menjembatani hirarki sosial di lingkungan pesantren.
Hal serupa berlaku juga di lingkungan sosial yang lebih luas. Masyarakat dan elit sosial (birokrasi negara) adalah dua wilayah yang dengan relatif tegas terpisah secara sosial dalam struktur hirarkis yang ketat dan kaku. Rakyat tidak selalu mudah bertemu dengan bupati, gubernur, apalagi presiden, karena hirarki birokrasi yang ketat dan kaku itu. Tetapi adalah bahasa yang memungkinkan pertemuan antara dua lapisan sosial tersebut, betapapun bahasa itu sendiri bersifat hirarkis, yaitu bahasa yang termaterialisasi lewat berbagai media. Dalam arti itu, maka hirarki bahasa bukan saja berfungsi menjembatani hirarki sosial, melainkan juga menyelesaikan atau mengatasi kebuntuan hirarki sosial itu sendiri.
Dengan demikian, hirarki bahasa Madura di satu sisi memang membatasi atau bahkan menghambat kemajuan bahasa Madura sendiri karena tidak sejalan dengan desakan modernitas yang menjunjung egaliterianisme dan kepraktisan. Namun di sisi lain hirarki bahasa Madura telah memungkinkan, bahkan mendorong, agar bahasa Madura memainkan fungsi sosial justru di saat struktur sosial menghadapi jalan buntu.
Dalam konteks itulah maka hirarki bahasa yang semula menjadi hambatan telah mentransformasi diri menjadi kekuatan. Sampai di sini kiranya cukup jelas bahwa di lingkungan pesantren bahasa Madura bukan saja menjadi alat komunikasi sehari-hari, melainkan juga memainkan fungsi sosial, yaitu menjembatani atau bahkan mengatasi kekakuan dan kebuntuan hubungan-hubungan sosial di lingkungan pesantren itu sendiri.
Di pesantren, bahasa Madura tidak hanya diajarkan dan digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari. Lebih dari itu, bahasa Madura digunakan sebagai bahasa ilmu secara relatif permanen. Paling tidak sampai tingkat tertentu, pelajaran akhlak, fiqih, akidah, tasawuf, dan lain-lain di pesantren disampaikan dalam bahasa Madura.