Bilamana yang meninggal adalah walaka, bilamana memperoleh kebahagiaan utama memegang kekuasaaan serta memiliki banyak rakyat, berhak mempergunakan bade bertumpang 9, petulangannya lembu, semua sarana yang dipakai ksatriya, terkecuali naga bandha, berhak dipakainya.
Serta bila walaka biasa meninggal, jika mengadakan upacara atiwa-tiwa-pitra yadnya, berhak mempergunakan bade tumpang 7, serta sarananya, demikian yang berlaku pada Arya Pinatih. Habis.
Serta prihal keadaan kacuntakan bagi Ki Arya Pinatih, yang – karenanya ingatlah sampai di kemudian hari, jika meninggal bayi belum kepus pungsed, cuntakanya 7 hari, jika meninggal bayi sesudah kepus pungsed, cuntakanya 11 hari, namun belum tanggal gigi. Jika ada yang meninggal sudah dewasa, remaja atau sudah tua, cuntakanya satu bulan 7 hari. Jangan lupa pada nasehatku ini.
Serta ada lagi nasehatku, di kemudian hari, dalam hal bersanak-saudara, jika ada orang luar desa datang, berkehendak untuk ikut menyungsung – menyembah Sanghyang Kawitan Ki Brahmana serta Siwopakarananya, mengaku Sira Arya Pinatih, walaupun orangnya nista madhya utama, janganlah ananda kadropon, perhatikan dahulu, jikalau tidak mau anapak sahupajanjian Sanghyang Kawitan, bukan sanak saudaramu itu.
Jika dia mau anapak Sanghyang Kawitan walaupun nista, madya utama, sungguh dia bersanak saudara denganmu, dan berhak ikut menyungsung bersama, bhatara Kawitan, walaupun jauh tempat tinggalnya. Serta sanak saudaramu si Arya Pinatih tidak boleh anayub dewagama lawan patunggalan dadya, jika melanggar nasehatku ini, hala tunggal, hala kabeh – satu menemui celaka, semuanya celaka.
Serta kemudian tidak bisa disupat Sanghyang Rajadewa Kawitannya, oleh Pendeta Resi Siwa Budha, serta jika melanggar seperti nasehatku ini. OM ANG medhalong, ANG OM mepatang, ANG UNG MANG ti sudha OM NRANG OM. Semuanya paras paros, wetu tunggal, demikian pahalanya, jangan tidak periksa. Kukuhkan dirimu dalam mengamong kawitanmu, serta kukuh seperti nasehatku pada ananda, habis.? (Sejarah & Babad Bali)
Kisah bersambung;