Pragmatisme nampaknya menjadi sumbu utama terjadinya perubahan paradigma ter-ater. Alasan klasik yang kerap menjadi landasan pada masyarakat modern yaitu kepraktisan dalam segala tindakan adalah hal utama. Termasuk ter-ater, dalam perubahannya menu ter-ater yang dulu hasil masakan proses sendiri, telah berubah menjadi pesanan pada catering kemudian dihantarkan dengan wadah dos atau plastik yang banyak dijual di toko-toko, khususnya bagi masyarakat perkotaan.
Nah disinilah persoalannya. Kalau jaman dulu masyarakat Madura dalam memproses hantaran dari masakan sendiri, kemudian dihantar dengan piring yang dilandasi daun pisang dipotong membundar, dihantar dengan talam atau nampan, lalu ditutupi dengan sejenis tampak rajutan benang. Indah dan alami.
Ironisnya, justru sebagaian besar masyarakat Madura perkotaan sudah tidak kenal yang namanya ter-ater. Akulturasi budaya tampaknya membebani mereka dalam melakukan ter-ater. Keengganan (lantaran pragmatisme) ibu rumah tangga membagi rasa makanan kepada tetangga, sanak keluarga dan kerabatnya telah demikian menguat, sehingga hari-hari menjelang ramadhan, maupun menjelang dan saat lebaran, terasa biasa-biasa, sepi dan tidak ada aktifitas sosial antar tetangga.
Namun demikian, meski tidak sekuat pada jaman dulu, masyarakat Madura tradisional di pedesaan masih mencoba dan berusaha tradisi ter-ater ini untuk menjadi bagian dari proses kehidupan sosial mereka. Karena apapun alasannya, peristiwa lebaran merupakan peristiwa yang diagungkan, peristiwa yang menyangkut urusan keagamaan dan kebudayaan. (Syaf / Lontar Madura)
kereeeeeeeeeeeeeeen.. ini yg aku suka dengan budayaku.. budaya orang maduraaa