Sulaiman Sadik
Etnik Madura pada umumnya, hidup di pedesaan dalam waktu yang sangat lama dan panjang dan telah membentuk diri sebagai masyarakat tradisional. Dalam masyarakat tradisonal, pembaharuan sangat sulit menembus tata kehi dupan yang sudah mengakar dan membudaya. Hal tersebut menjadikan mereka terasing dan sekaligus dapat dibedakan yang hidup di perkotaan, pada umumnya telah mengalami pembaharuan.
Walaupun demikian, perilaku tradisional yang bersumber pada norma-norma yang berasal dari leluhur tetap menjadi acuan dan pegangan bagi orang Madura, baik yang ada di pedesaan maupun di perkotaan juga di bagian-bagian daerah yang terisolasi. Namun, di daerah ini budaya tidak banyak berkembang dan tidak tersentuh sedikitpun oleh perubahan-perubahan sosial yang sudah melanda Madura. Pegangan yang menyatakan atau mengarah kepada harga diri tersebut antara lain:
- Carok, maskè kanca èlorok (lihat bagian kearifan lokal Madura di halaman lain dalam buku ini).
- Potè mata bhângo’an potè tolang
Potè mata bermakna ‘malu’ dan poté tolang berarti ‘mati’.
Dengan demikian ungkapan potè mata bângo’an potè tolang memiliki makna ‘dari pada malu lebih baik mati’. Dalam bahasa Madura, malu disebut malo. Banyak hal terkait dengan kata malu, bisa berupa kata atau pun perilaku. Berikut hal-hal yang menyebabkan orang Madura malu.
- Pelecehan terhadap anggota keluarga yang perempuan seperti, istri, anak perempuan, ibu, bibi, bahkan juga tunangan. Hal ini, terkait dengan CAROK. Jadi cukup jelas, siapa pun yang mengganggu orang Madura akan merasa malu.
- Menepuk kepala hingga topinya (songko’) terjatuh.
- Memegang kepala tanpa diminta.
- Menagih hutang di depan banyak orang.
- Dimarahi yang luar biasa di depan banyak orang.
- Mengungkap keburukan dirinya atau keluarganya di depan banyak orang.
- Dikatakan kaper” (kafir)
Ungkapan malo seperti contoh di atas, yaitu sesuatu yang datang dari luar dan membuat diri kita sebagai sasaran. Hal ini berbeda dengan todus, yaitu sikap kita terhadap orang lain karena kekeliruan kita sendiri. Apabila demikian kita harus segera minta maaf. Un kapan tersebut sering pula dikaitkan dengan harga din, karena itu ungkapan potè mata bângo’an potè tolang, iga sebagai pernyataan untuk melakukan carok. Selain itu menjadi sebuah tantangan untuk berkelahi.
Laki-laki Madura tidak mau dipermalukan, baik dalam masalah konflik saat berinteraksi dengan sesamanya, maupun dalam pelanggaran ghâbângan. Ungkapan ini pun dicipta oleh leluhur agar manusia Madura tidak gegabah dalam melakukan interaksi dengan sesama maupun dengan orang lain. Manusia Madura jangan mempermalukan orang lain sebab dirinya tabu dan sensitif dengan rasa malu tersebut.
Melalui ungkapan tersebut, diharapkan agar manusia Madura selalu damai, karena para leluhur Madura sadar kalau damai itu indah. Dengan kata lain, mungkin lebih populer untuk masa-masa sekarang adalah harapan leluhur bagi generasi untuk membela kebenaran hanya ada dua pilihan, yaitu berbuatlah kebajikan bila ingin hidup mulia dan bila sudah mengikhlaskan untuk mati, maka matilah syahid, sehingga hidup di dunia tidak sia-sia.
Lakonè lalakon sè otama, iyâ arèya lalakon sè majhemjhem bân masenneng orèng bánnya’ mon bâ’ na terro dhaddhiyâ orèng moljá, tapè mon bâ’na ella apangrasa jhâ’ ella matèya paséghek atèna bå’na ngalakonè parèntana sè Morbâ jhâghât ma’lè bâ’na matè syahid (Wabup Pamekasan, medio Desember 2004) “Kerjakan pekerjaan yang utama, yaitu pekerjaan yang memberi ketentraman dan memberi kesenangan kepada semua orang. Namun, apabila kalian ingin menjadi orang “yang mulia”, apabila kalian sudah merasa sudah dekat ajalmu, teguhkan iman dan setulusnya melaksanakan perintah agama agar kalau mati, syahid”.
Mon bhâghus pabhâghâs, Mon kerras paakerrès, Mon soghi pasoghâ’
Mon bhåghus pabhâghâs, artinya ‘apabila memiliki wajah bagus (gântheng ‘ganteng’, raddhin ‘cantik’) rupawan hendaknya harus selalu bersikap tegas dan gagah. Hal itu agar memberi kesan kepada siapapun bahwa tahu merawat tubuh dan di dalam tubuh yang rupawan tersebut harus ada jiwa yang pemaaf, penyabar, dan selalu berpikir untuk meningkatkan diri, baik dalam keelokan tubuh dan wajah, maupun dalam berinteraksi dengan sesama atau orang lain, dalam bentuk perilaku yang terhormat. Sikap seperti itu lebih pantas, elok rupa dan perilakunya.
Para leluhur selalu berpesan dan berharap untuk selalu memiliki harga diri yang diwujudkan dengan perilaku yang tidak menyakiti dan mempermalukan orang lain, tetapi sebaliknya memperjelas jati dirinya bahwa sangat memelihara dan menghormati harga diri bangsa.
Ungkapan Mon kerras pakerrès memiliki makna jika seseorang memiliki sifat keras hendaknya memiliki senjata berupa keris. Akan tetapi jika seseorang yang keras tersebut tidak memiliki senjata berupa keris, maka akan ditertawai banyak orang. Berdasarkan sifat keris tersebut, orang Madura harus berpikir jika menghunus kerisnya. Ia harus menghunus senjata dalam waktu yang tepat dan jangan gegabah. Inilah sebenarnya pesan yang tersembunyi dibalik ungkapan tersebut. Ungkapan ini merupakan bagian dari harga diri yang harus dijaga dan dihormati.
Ungkapan Mon soghi pashoghâ’ memiliki arti bahwa jika seseorang kaya hendaklah bersikap sewajarnya sehingga orang lain tidak menganggap dirinya sombong. Bahkan, seseorang yang kaya tersebut harus bersikap jujur dan jangan menutup-nutupi kekayaannya dengan tujuan agar orang lain tidak mudah mendekati dan minta bantuannya. Dalam pandangan leluhur Madura, orang kaya memiliki kewajiban untuk membantu si miskin. Ikut menjaga lingkungan sekitar dan berbagai bencana, seperti terjangkitnya penyakit dalam makna orang kaya juga harus ikut serta menyehatkan dan memakmurkan lingkungan sekitar nya.
Orang kaya yang “soghâ”” akan terpandang gagah dan dihormati sesamanya dan sebaik-baik orang gagah bagaikan tegak berdiri saat salat. Dalam posisi seperti itu, wajah menatap ke bawah ke tempat sujud. Demikian pula si kaya harus melihat si miskin, seperti atasan melihat keadaan bawahannya. Dengan demikian, si keras harus menimbang terlebih dahulu, baik dan buruknya tindakan yang akan dilakukan. Hal ini menyangkut harga diri manusia Madura.
Berdasarkan ketiga ungkapan tersebut, memiliki makna bahwa orang Madura dalam melakukan sesuatu harus dengan kesungguhan hati dan tidak boleh: ta’ ghung nangghung (tidak kepalang tanggung) atau ta’ nyèccèng (tidak setengah-setengah). Ada pula ungkapan Madura: abâk-abâk bâcca mandi sakalè raop (membasahi) separuh badan juga basah karena itu lebih baik sekalian mandi.