Kajian mengenai kebudayaan dan kehidupan masyarakat Madura diangkat dalam buku “Garam, Kekerasan, dan Aduan Sapi “, yang merupakan hasil penelitian Dr. Huub de Jonge, peneliti dari Radboud Universiteit Nijmegen, Belanda. Buku yang diterbitkan oleh LKiS tersebut diulas dalam sebuah acara diskusi yang berlangsung di Gedung Masri Singarimbun Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Yogyakarta, Kamis (8/12).
Selain dihadiri Dr. Huub selaku penulis, diskusi tersebut juga menghadirkan pembahas Muthmainah Munir, Dosen Universitas Trunojoyo Madura. Secara gamblang, Dr. Huub mengawali kajian dengan menyorot perekonomian masyarakat Madura yang hidup di lahan yang tidak subur dan amat bergantung pada hujan. Selain bertani ladang, mayoritas masyarakat pulau di utara Provinsi Jawa Timur ini bekerja sebagai petani garam. Komoditas garam yang bernilai tukar rendah dan hasil pertanian yang tidak menguntungkan menjebak masyarakat dalam perangkap jaring kemiskinan.
Kondisi serba terbatas menyebabkan masyarakat Madura memiliki karakter sensitif dan lekat dengan konflik. Dengan munculnya budaya masyarakat berupa Carok dan Remo, kekerasan semakin melembaga. Hal ini semakin didorong dengan lemahnya sistem kontrol sosial dari pemerintah. Budaya Carok kemudian tumbuh menjadi suatu hal yang wajar dan dapat diterima, bahkan upaya yang sah bagi kelompok masyarakat tertentu untuk menolong diri mereka sendiri.
Di sisi lain, tanpa disadari bahwa masyarakat Madura membawa budaya kekerasan keluar dari pulau. Melalui program transmigrasi dari pemerintah, masyarakat Madura berpencar ke berbagai wilayah di Indonesia, seperti Jawa dan Kalimantan. Di perantauan, masyarakat Madura umumnya kurang disukai karena mereka cenderung berperilaku kasar. Hal ini lalu menjadi stereotipe dan menyempitkan pandangan masyarakat umum terhadap orang Madura.
Padahal, di Madura sendiri, kekerasan tidak melulu diwujudkan dalam perilaku sehari-hari warga, melainkan telah menemukan bentuk lainnya dalam tradisi budaya, yakni melalui aduan sapi. Budaya aduan sapi ini tidak hanya semata-mata menjadi hiburan, namun juga simbol perjuangan masyarakat meraih status sosial yang lebih tinggi serta merepresentasikan perjuangan membela diri.
Melalui buku yang ditulis berdasarkan hasil penelitian di sejumlah wilayah di Pulau Madura sejak tahun 1976 tersebut, Dr Huub ingin membuka pikiran masyarakat Indonesia, agar melihat budaya Madura dalam perspektif yang lebih luas. Dr Huub melihat budaya Madura sebagai budaya yang luhur, sebagaimana budaya Jawa atau budaya masyarakat lain di Indonesia. Dr. Huub juga ingin memberikan kontribusi karya ilmiah yang bisa dijadikan referensi bagi para peneliti, yang ingin melakukan kajian tentang Madura, karena menurut Huub, belum banyak karya ilmiah yang mengulas tentang Madura. (sosbud.kompasiana.com)