Korban yang besar ini terjadi pada pertempuran mendadak pada hari Minggu, 15 September 1624, yang merupakan perang besar. Laki-laki dan perempuan kemedan laga. Beberapa pejuang laki-laki sebenarnya masih bisa tertolong jiwanya. Namun ketika para wanita akan menolong mereka melihat luka laki-laki itu berada pada punggung, mereka justru malah membunuhnya.
Luka di punggung itu menandakan bahwa mereka melarikan diri, yang dianggap menyalahi jiwa ksatria. Saat keruntuhan kerajaan itu, Pangeran Mas melarikan diri ke Giri. Sedangkan Prasena (putera ketiga Pangeran Tengah) dibawa oleh Juru Kitting ke Mataram, yang kemudian diakui sebagai anak angkat oleh Sultan Agung dan dilantik menjadi penguasa seluruh Madura yang berkedudukan di Sampang dan bergelar Tjakraningrat I. Keturunan Tjakraningrat inilah yang kemudian mengembangkan pemerintahan kerajaan baru di Madura, termasuk Bangkalan.
Tjakraningrat I menikah dengan adik Sultan Agung. Selama pemerintahannya ia tidak banyak berada di Sampang, sebab ia diwajibkan melapor ke Mataram sekali setahun ditambah beberapa tugas lainnya. Sementara kekuasaan di Madura diserahkan kepada Sontomerto.
Dari perkawinannya dengan adik Sultan Agung, Tjakraningrat tidak mempunyai keturunan sampai istrinya wafat. Baru dari pernikahannya dengan Ratu Ibu ( Syarifah Ambani, keturunan Sunan Giri ), ia memperoleh tiga orang anak dan beberapa orang anak lainnya diperoleh dari selirnya (Tertera pada Silsilah yang ada di Asta Aer Mata Ibu. Bangkalan berkembang mulai tahun 1891 sebagai pusat kerajaan dari seluruh kekuasaan di Madura, pada masa pemerintahan Pangeran Tjakraningrat II yang bergelar Sultan Bangkalan II. Raja ini banyak berjasa kepada Belanda dengan membantu mengembalikan kekuasaan Belanda di beberapa daerah di Nusantara bersama tentara Inggris.
Karena jasa-jasa Tjakraningrat II itu, Belanda memberikan izin kepadanya untuk mendirikan militer yang disebut ‘Corps Barisan’ dengan berbagai persenjataan resmi modern saat itu. Bisa dikatakan Bangkalan pada waktu itu merupakan gudang senjata, termasuk gudang bahan peledak. Namun perkembangan kerajaan di Bangkalan justru mengkhawatirkan Belanda setelah kerajaan itu semakin kuat, meskipun kekuatan itu merupakan hasil pemberian Belanda atas jasa-jasa Tjakraningrat II membantu memadamkan pemberontakan di beberapa daerah.
Belanda ingin menghapus kerajaan itu. Ketika Tjakraningrat II wafat, kemudian digantikan oleh Pangeran Adipati Setjoadiningrat IV yang bergelar Panembahan Tjokroningrat VIII, Belanda belum berhasil menghapus kerajaan itu. Baru setelah Panembahan Tjokroadiningrat wafat, sementara tidak ada putera mahkota yang menggantikannya, Belanda memiliki kesempatan menghapus kerajaan yang kekuasaannya meliputi wilayah Madura itu.
Raja Bangkalan Dari Tahun 1531 – 1882
- Tahun 1531 – 1592 : Kiai Pratanu (Panembahan Lemah Duwur)
- Tahun 1592 – 1620 : Raden Koro (Pangeran Tengah)
- Tahun 1621 – 1624 : Pangeran Mas
- Tahun 1624 – 1648 : Raden Prasmo (Pangeran Cakraningrat I)
- Tahun 1648 – 1707 : Raden Undakan (Pangeran Cakraningrat II)
- Tahun 1707 – 1718 : Raden Tumenggung Suroadiningrat
- (Pangeran Cakraningrat III)
- Tahun 1718 – 1745 : Pangeran Sidingkap (Pangeran Cakraningrat IV)
- Tahun 1745 – 1770 : Pangeran Sidomukti (Pangeran Cakraningrat V)
- Tahun 1770 – 1780 : Raden Tumenggung Mangkudiningrat
- (Panembahan Adipati Pangeran Cakraadiningrat VI)
- Tahun 1780 – 1815 : Sultan Abdu/Sultan Bangkalan I
- (Panembahan Adipati Pangeran Cakraadiningrat VII)
- Tahun 1815 – 1847 : Sultan Abdul Kadirun (Sultan Bangkalan II)
- Tahun 1847 – 1862 : Raden Yusuf (Panembahan Cakraadiningrat VII)
- Tahun 1862 – 1882 : Raden Ismael (Panembahan Cakraadiningrat VIII)
(Judul asli: Asal Usul Kabupaten Bangkalan, dari http://www.tretans.com/)