Dr Kadarisman Sastrodiwirdjo, M.Si
Rasa Bermadura
Keuka media massa di negara kita ramai dengan gonjang ganjing penghujatan terhadap kepemimpinan Nurdin Halid, Ketua Umum PSSI, ada segelintir warga Madura yang ikut-ikutan menghujat. Hanya saja yang menyedihkan, mereka yang menghujat, sebagaimana foto yang dimuat di sebuah surat kabar, membawa poster dengan tulisan Nurdin ke Madura, mati, dilengkapi gambar arit dengan tetesan darah. Foto buram ini betul-betul menyentak perasaan kita diiringi rasa keprihatinan yang mendalam. Rupanya masih ada orang Madura terpelajar yang justru bangga menunjukkan sikap keras, kasar, sangar dan siap membunuh musuh-musuhnya.
Berangkat dari kecil ini, kita telah bersama tema yang ditetapkan oleh panitia dalam acara Pra Kongres Budaya Madura, yaitu terjadinya Eskalasi dan Erosi Rasa Bermadura. Tema ini pada satu sisi sesungguhnya terasa sudah memvonis bahwa di kalangan orang Madura sudah terjadi erosi rasa kemaduraan yang eskalatif. Seharusnya perlu diteliti terlebih dahulu apakah di kalangan masyarakat Madura betul-betul telah berlangsung proses erosi rasa bermadura ini? Juga erosi itu sudah merata atau hanya terjadi pada sekelompok komunitas tertentu saja dan apa betul bersifat masif serta prosesnya eskalatif? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, berikut ini kita simak berbagai fenomena yang muncul di kalangan masyarakat.
Stereotipe tentang Orang Madura
Peristiwa sebagaimana tergambar dalam foto buram seperti disinggung di atas, rupanya tidak disadari oleh pelakunya bahwa hal tersebut kian mengukuhkan citra negatif orang luar terhadap orang Madura, bahwa orang Madura sangat mudah menghunus senjata dalam menyelesaikan masalah, pendendam dan tidak mudah menyesuaikan dengan lingkungan (Gining, 2004). Apalagi persoalannya hanya menyangkut organisasi sepak bola
Stereotipe bahwa orang Madura keras, kasar, sangar, pendendam. bodoh, suka berkelahi bahkan gampang membunuh, menurut catatan sejarah sudah ada sejak zaman penjajahan. Dalam rangka politik adu domba, mereka menciptakan image orang Madura seperti itu. Namun akhirnya, stereotipe itu terus melekat sampai sekarang. Tidak mudah untuk menghapusnya, karena rupanya sudah terwariskan dan generasi ke generasi. Tampilnya orang Madura menjadi penting dan tokoh nasional, menjadi jenderal, panglima dan kepala staf de TNI/Polri, rektor, menteri, ketua MK, ketua MA, jaksa agung di republik ini rupanya tidak cukup kuat untuk mengikis citra negatif ini.
Menyikapi tudingan miring ini, orang Madura terbelah menjadi beberapa kelompok. Ada sekelompok orang yang kukuh dengan kemadunannya. Kelompok ini tidak peduli dengan pendapat orang luar dan secara konsekuen serta konsisten tetap berbudaya, berbahasa dan berperilaku sebagai orang Madura. Kelompok ini kebanyakan terdiri dari golongan menengah dan masyarakat di akar rumput, dan ada pula sebagian kecil dan golongan atas.
Kelompok kedua adalah kelompok yang terdiri dan orang-orang yang tidak peduli terhadap budayanya dan orang-orang yang merasa malu menjadi orang Madura, sehingga merasa perlu menyembunyikan identitas kemaduraannya. Kebanyakan mereka adalah para pejabat atau kaum intelektual yang berada di luar Madura
Kelompok ketiga, adalah kelompok yang secara sadar dan bersemangat berupaya untuk membangun citra positif dan mengikis citra mining tentang orang Madura. Kelompok ini pada umumnya adalah kaum terpelajar, tokoh masyarakat, para budayawan yang tinggal di Madara, serta sebagian perantau baik yang menjadi tokoh dan petinggi nasional maupun yang menjadi warga biasa. Mereka tetap cinta dan peduli akan nasib etnisnya.
Mengacu pada pengelompokan ini, rupanya yang kita anggap mengalami erosi bermaduranya banyak terjadi pada kelompok kedua. Sedangkan pada kelompok pertama, bisa saja dianggap mengalami penggerusan, akan tetapi sesungguhnya mereka mengalami pergeseran nilai
Mobilitas Sosial di Madura
Sekitar dua puluh tahun silam, seseorang kalau karena sesuatu hal terpaksa menyuguhkan teh dan bukan kopi kepada tamunya, ketika mempersilahkan minum akan mengatakan ѐatorѐ ka’dinato, namong saporana model pacѐnan. Adapun yang dimaksud dengan model pacѐnan (pecinan), karena konon tradisi di Cina tamu dihormati dengan suguhan teh. Sementara orang Madura menghormati tamu dengan suguhan kopi. Itu dulu. Sekarang, menyuguhi tamu dengan air putih dalam gelas kemasan. sudah lumrah dan sang tuan rumah tidak perlu berbasa-basi lagi ketika menyilakan minum. Perubahan ini terjadi karena pengaruh teknologi kemasan, sehingga segelas air putih dalam kemasan dirasa sudah cukup terhormat untuk disajikan kepada tamu.
Dulu, orang Madura memiliki keangkuhan tidak mau disebut orang miskin dan tidak mau menerima bantuan yang berlabel untuk orang miskin. Penulis pernah menjadi pimpinan proyek Asistensi Keluarga Miskin yang memberikan bantuan kepada keluarga berkategori miskin. Ketika akan membagikan sembako bantuan di Balai Desa, ternyata rakyat yang hadir cuma sekitar sepertiga dari jumlah sasaran. Lainnya tidak mau hadir untuk menerima bantuan untuk orang miskin, sekali pun kenyataannya mereka memang miskin. Ada keangkuhan, ada harga din yang perlu dipertahankan untuk menerima bantuan selaku orang. miskin. Sekarang, keangkuhan itu sudah pupus. Si miskin dan vang tidak miskin sama-sama berebut raskin atau BLT tanpa rasa risih. Bagaimana ceritanya? Mengapa terjadi perubahan yang drastis ini? Mungkin karena tekanan ekonomi orang lalu merasa tidak risih untuk berubah sikap atau karena orang-orang sudah berpikir pragmatis.
Di bidang politik, pergeseran nilai ini juga terasa. Dua puluh tahun lalu, hampir-hampir tidak ada politikus yang pindah partai, karena dianggap tidak etis dan akan dijuluki kutu loncat. Sekarang hal tersebut. dianggap biasa-biasa saja bahkan dijadikan sebuah strategi. Dulu para pemilih didekati secara personal untuk menjadi pendukung seorang calon, sekarang didekati dengan uang, yang lazim disebut money politic
Menyimak fenomena kecil seperti di atas, kiranya kita tidak ragu mengatakan bahwa orang Madura sedang mengalami pergeseran nilai pada berbagai aspek kehidupan, baik ekonomi, sosial, politik maupun budaya. Pergeseran nilai dan perubahan sosial pada sebuah etnis adalah sebuah keniscayaan, karena memang tidak ada masyarakat atau bangsa yang stagnan. Semua bergerak dan berubah, sesuai dengan hukum sosial yang mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang tidak berubah. Satu-satunya yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri