Tentang perubahan sosial ini, Astrid S. Susanto mengatakan bahwa ada tiga bentuk perubahan sosial, yaitu evolusi sosial (social evolution), mobilitas sosial (social mobility) dan revolusi sosial (social revolotion). Sebagaimana sub etnis lain di Indonesia, masyarakat Madura juga mengalami perubahan. Selama ini, masyarakat Madura mengalami evolusi sosial, kendati pun mungkin intensitas perubahannya tidak secepat etnis lain di sekitarnya. Akan tetapi sekarang, dengan perkembangan teknologi utamanya teknologi informasi, komunikasi yang intens, ditambah adanya Jembatan Suramadu, diyakini bahwa prose evolusi sosial sudah mengalami eskalasi dan beranjak ke mobilitas sosial.
Jembatan Suramadu secara signifikan memang meningkatkan mobilitas penduduk yang melahirkan komunikasi langsung dengan etnis lain. Sehingga pada gilirannya terjadilah pertukaran informasi, transfer teknologi, persinggungan budaya, yang sangat intensif. Dan dalam proses ini terjadilah proses asimilasi, akulturasi, atau dominasi. Dalam budaya Madura terjadi proses tanggalnya nilai-nilai lama yang tidak sesuai dengan perkembangan situasi dan tumbuh nilai-nilai baru. Tentu saja nilai-nilai ini ada yang positip dan ada yang negatif.
Selanjutnya yang perlu diamati, unsur budaya apa saja yang mengalami perubahan? Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan meliputi tujuh unsur, yaitu sistem religi, sistem organisasi kemasyarakatan sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian, dan sistem teknologi/peralatan. Ketujuh unsur tersebut juga ditemui dalam budaya Madura. Masing-masing unsur akan mengalami perubahan hanya saja intensitasnya berbeda. Unsur yang disebut awal lebih sulit berubah daripada yang disebut belakangan.
Sistem religi, diyakini tidak akan mengalami perubahan yang berarti. Orang Madura tidak akan beranjak dari keislamannya. Hanya saja yang mungkin terjadi adalah hantaman terhadap nilai-nilai keislaman, dengan masuknya nilai-nilai non-islami. Sistem organisasi kemasyarakatan, mungkin saja mengalami pergeseran. Akan tetapi perubahannya diprediksi tidak akan menyentuh akar rumput. Sedang sistem ilmu pengetahuan pasti akan berubah. Perubahan ini justru diharapkan, yaitu terjadinya transfer ilmu pengetahuan dan teknologi
Bahasa dan kesenian merupakan unsur budaya yang secara teoritis rentan terhadap perubahan. Sekarang saja di Madura, perubahan kedua unsur ini sudah sangat terasa. Anggota masyarakat, utamanya kaum terpelajar sudah banyak yang meninggalkan bahasa ibu (mother tongue) sebagai pengantar dalam kehidupan keseharian di tengah keluarga dan menggantinya dengan bahasa Indonesia. Demikian halnya dengan kesenian. Banyak cabang seni yang dirasa tidak sesuai dengan perkembangan zaman, punah dan berganti dengan seni kontemporer. Ke depan perubahan itu akan makin melebar
Sistem mata pencaharian dan sistem teknologi juga pasti berubah. Mata pencaharian orang Madura akan bergeser dari sektor primer ke sekunder atau tersier. Mereka yang tetap berada di sektor primer seperti para petani, akan bergeser aktivitasnya dari pertanian subsisten ke agribisnis, dari kerja manual ke masinal, dari tradisional ke teknologikal.
Pergeseran-pergeseran nilai ini natinya akan melahirkan perubahan perilaku. Hal inilah mungkin yang oleh kita dirasakan sebagai terjadinya erosi rasa bermadura atau tergerusnya rasa kemaduraan. Akan tetapi sesungguhnya kita perlu membedakan antara keduanya, yaitu antara tergerusnya rasa kemaduraan dengan proses pergeseran nilai. Terlepas dari hal-hal di atas, apabila kita mencermati perubahan perilaku masyarakat khususnya di Pamekasan, sesungguhnya telah muncul fenomena baru yaitu terjadinya pergerakan arus balik di bidang budaya. Beberapa kenyataan berikut ini bisa dijadikan bukti penguat tentang hal tersebut
Dalam bidang bahasa, di Madura sekarang sudah terbit sekurang kurangnya tiga kamus bahasa Madura-Indonesia. Buku-buku pelajaran dan majalah berbahasa Madura, sudah banyak yang menerbitkannya. Kumpulan puisi dan novel berbahasa Madura juga mulai muncul. Bahkan saat ini sedang digarap terjemahan Al-Quran ke dalam bahasa Madura.
Pemerintah daerah di Madura juga makin intens memberi perhatian terhadap bahasa, seni, dan budaya Madura. Tahun lalu, Pemerintah Kabupaten Pamekasan mensponsori penyelenggaraan Kongres Bahasa Madura. Dalam setiap peringatan hari jadi, selalu di program kegiatan Pekan Budaya Madura. Fasilitas umum perkotaan seperti taman kota, ada yang diberi nama dengan bahasa Madura, seperti Taman Potrѐ Konѐng, Sekar Pote, Di kawasan PKL diberi nama Sae Salѐra, Saѐ Rassa. Monumen Arѐk Lancor sudah menjadi landmark Pamekasan dan masyarakat bangga dengan itu. Lagu dan tari Madura, sekarang kian memperoleh tempat di kalangan masyarakat golongan menengah dan atas
Media massa juga tidak ketinggalan. Hampir semua stasiun t memiliki program berbahasa Madura. Surat kabar dan majalah lokal semua menyediakan rubrik bahasa Madura. Hal yang menarik bagi komunikasi SMS antar warga banyak yang mempergunakan bahasa Madura
Dunia usaha juga memberikan tempat yang memadai terhadap budaya Madura. Batik Pamekasan, sudah menjadi tuan di negerinya sendiri dan orang Pamekasan bangga terhadap batiknya. Merek dagang sekarang banyak yang mempergunakan bahasa Madura. Label bungkusan makanan kecil misalnya, banyak yang memakai bahasa Madura, seperti perusahaan Krѐpѐ’ Tette, Krѐpѐ’ Tenggeng, Krѐpѐ’ Geddhang minuman Nata de Ta’al, Rojhak Tajhin, Tajhin Etem, Campor Larjhu’, dan banyak lagi lainnya. Promosi dan iklan dagang perusahaan banyak yang mempergunakan bahasa Madura. Apakah hal-hal tersebut tidak dijadikan bukti bahwa sekarang ada arus balik yaitu kian mengentalnya rasa kemaduraan atau rasa bermadura?