Harga Diri dalam Masyarakat dan Kebudayaan Madura

Tindakan resistensi yang sangat keras biasanya tidak akan terjadi pada orang Madura yang berada dalam situasi atau merasa todus karena yang bersangkutan tidak merasa dilecehkan harga dirinya. Dengan demikian ada tidaknya tindakan pelecehan harga diri merupakan indikator penting untuk membedakan antara todus dan malo. Dalam realitas sosial budaya, pada umumnya todus cenderung hanya mencakup lingkup individual, sebaliknya malo dapat tereskalasi ke lingkup yang lebih luas (keluarga dan masyarakat). Hal ini biasanya terjadi apabila menyangkut gangguan terhadap isteri.

Bagi orang Madura, tindakan mengganggu kehormatan isteri selalu dimaknai sebagai tindakan arosak atoran (merusak tatanan sosial). Itu sebabnya, gangguan terhadap isteri akan dimaknai pula sebagai pelecehan terhadap harga diri secara kolektif. Perasaan malo akibat terjadinya gangguan terhadap isteri yang akhirnya bersifat kolektif tersebut selain memiliki relasi sangat signifikan dengan sistem perkawinan matrilokal dan uxorilokal atau kombinasi antara keduanya yang masih berlaku dalam masyarakat Madura juga tercermin dalam pola pemukiman taneyan lanjhang, formasi struktur rumah tradisional, serta tradisi kin group endogamy. Makna substantif dari semuanya ini, perempuan Madura selalu mendapat perhatian serta proteksi kultural secara khusus mulai dari lingkup keluarga sampai ke lingkup sosial. Ini semua pada akhirnya menjadi faktor penguat terjadinya resistensi yang sangat keras berupa pembunuhan terhadap orang yang melakukan gangguan pada isteri.

Memahami konflik yang berpangkal pada pelecehan harga diri orang Madura akan semakin proporsional dan kontekstual bila dipahami pula dua konsep penting yang berkaitan dengan relasi sosial yang dibangun orang Madura yaitu teman (bhala, kanca) dan musuh (moso). Konsep teman merujuk pada relasi sosial dengan derajat keakraban pada taraf tertentu hingga ke derajat paling tinggi; sebaliknya, konsep musuh merupakan perwujudan relasi sosial tanpa keakraban sama sekali atau paling tidak pada taraf paling rendah. Dengan kata lain, kehidupan harmonis muncul karena dominannya semangat pertemanan (friendship); sebaliknya, kondisi kehidupan yang bernuansa konflik ditandai oleh dominasi perasaan permusuhan (enmity).

Menurut pengertian orang Madura, bhala selain menunjuk pada pengertian teman juga menunjuk pada orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan sehingga bhala sering kali diartikan identik atau sama dengan taretan.

Dengan demikian, taretan dalem (kerabat inti atau core kin) sering kali disebut juga sebagai bhala dalem; sedangkan taretan semma’ (kerabat dekat atau close kin) sebagai bhala semma’ dan taretan jhau (kerabat jauh atau peripheral kin) sebagai bhala jhau. Dalam konteks ini ada bhala dalam arti taretan atau diistilahkan dengan “bhala taretan” dan ada pula bhala dalam arti bukan termasuk taretan atau dalam terminologi lain biasa disebut kanca (teman). Kanca bisa berasal dari berbagai macam lingkungan sosial, di antaranya teman dari lingkungan ketetanggaan (kanca tatanggha), teman dari lingkungan kerja (kanca lako), teman dari lingkungan remo (kanca remo), dan dari lingkungan sosial lainnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.