Konsep bhala dan moso dalam makna yang hampir sama dikenal juga oleh masyarakat Sulu – khususnya suku Tausug di Filipina Selatan dari suatu hasil penelitian antropologis tentang kekerasan (violence) yang pernah dilakukan oleh Thomas M. Kiefer (1972). Pertemanan (friendship, bagay) dan permusuhan (enmity, bantah) merupakan dua konsep yang selalu muncul dalam organisasi sosial masyarakat ini. Kiefer merinci macam-macam pertemanan dan permusuhan tersebut menjadi sembilan kategori, yaitu: bagay (close friend); bagay magtaymanghud (ritual friend or “friend like brother”); bagay-bagay (casual friend); gapi (ally); bantah (enemy); tau hansipak (opponent); tindug (retainer or follower); bata’an (bodyguard); dan tau ha ut (neutral).
Pada masyarakat suku Tausug selain terlihat secara jelas perbedaan antara kekerabatan (kinship) dan pertemanan (friendship) namun ada kalanya kedua konsep tersebut dimaknai sama sebagaimana yang dikenal dalam masyarakat Madura. Dalam masyarakat suku Tausug hal itu disebut bagay magtay manghud (teman bagaikan saudara) sedangkan dalam masyarakat Madura, sebagaimana telah disinggung di bagian lain di muka, tercermin dalam suatu ungkapan: oreng dhaddhi taretan.
Dalam konteks itu, satu hal sangat penting yang perlu disadari dan dipahami adalah makna hubungan pertemanan dalam masyarakat Madura – demikian pula dalam masyarakat suku Tausug – senantiasa dilandasi oleh semangat resiprokal. Dengan demikian, apabila hubungan pertemanan semacam itu dikelola dengan baik dan senantisa dijadikan semangat, referensi dan landasan dalam kehidupan sosial oleh orang Madura, maka konflik (kekerasan) sudah pasti dapat diantisipasi dan sekaligus dicegah sedini mungkin. Pada gilirannya, kehidupan sosial orang Madura niscaya akan selalu dalam suasana yang nyaman, sejuk, dan teduh penuh kedamaian sebagaimana makna ungkapan rampa’ naong, baringen korong. Ungkapan ini semakin jelas relevansi dan urgensinya dalam situasi sosial politik Madura menjelang pelaksanaan Pemilu 2004.***
http://wiyatablog.blogspot.com