Grebeg Maulid Simbol Hari Jadi
Dibandingkan referensi yang lain, situs Makam Rato Ebuh dilengkapi dan didukung dengan daftar kepustakaan hasil karya ahli sejarah Belanda HJ De Graff. Sehingga, sangat representatif dijadikan dasar penetapan Hari Jadi Kabupaten Sampang.
DALAM bukunya De Op Komst Van R Trunojoyo (1940), HJ De Graaf menyebutkan bahwa pada tanggal 12 Rabi’ul Awal 1039 Hijriyah yang bertepatan dengan 23 Desember 1624 Masehi, Raja Mataram saat itu Sultan Agung mengangkat dan menetapkan Raden Praseno yang bergelar Pangeran Cakraningrat I menjadi penguasa Madura Barat yang kerajaannya dipusatkan di Sampang.
De Graff menerangkan, dalam surat titahnya, Sultan Agung juga menegaskan bahwa Pangeran Cakraningrat I berhak menerima payung kebesaran kerajaan dan upeti sebesar 20 ribu Gulden.
Secara de jure maupun de facto, surat tersebut merupakan bukti otentik yang menjadi pride (kebanggaan) masyarakat Madura Barat yang cakupan kekuasaannya meliputi Sampang, Arosbaya, dan Bangkalan atas terpilihnya Raden Praseno sebagai Raja Madura Barat.
Saat itu, masyarakat Mataram ikut merayakan pengangkatan dan penetapan Pangeran Cakraningrat I dengan melakukan kegiatan Gebreg Maulid.
Sebenarnya, Pangeran Cakraningrat I adalah salah seorang tawanan Sultan Mataram saat berlangsungnya perang antara masyarakat Madura dengan Mataram. Tapi, Sultan Agung kemudian mengangkat Raden Praseno yang saat itu masih berumur 6 tahun sebagai anak asuhnya.
Setelah puluhan tahun dibesarkan di lingkungan keluarga Keraton Mataram, akhirnya Raden Praseno menjadi anak emas Sultan Agung dan dipercaya menjadi Raja Madura Barat.
Meskipun menjadi penguasa Madura Barat, Pangeran Cakraningrat I konon jarang berada di Sampang. Sebab, saat itu tenaganya sangat dibutuhkan Sultan Agung untuk mengawal Kerajaan Mataram. Praktis, jalannya roda pemerintahan di Kerajaan Madura Barat seringkali diwakilkan kepada pamannya, Pangeran Santo Merto.
Beberapa tahun kemudian, Pangeran Cakraningrat I dan putranya Pangeran Mloyo Kusumo atau Raden Maluyo akhirnya mangkat di medan perang saat berusaha menghentikan pemberontakan Pangeran Pekik yang merongrong kepemimpinan Sultan Agung.
Jasad Pangeran Cakraningrat I kemudian dikebumikan di makam raja-raja Mataram di Imogiri, Jawa Tengah. Perang saudara tersebut akhirnya melengserkan tahta kekuasaan Sultan Agung. Setelah itu, mahkota Kerajaan Mataram diserahkan kepada Sultan Amangkurat.