Interaksi warga keturunan Cina dengan Madura ujung timur ini diperkirakan sejak tentara Mongol dikalahkan Majapahit pada abad ke 13, pada saat itu Aria Wiraraja punya andil besar dalam strategi perang Majapahit. Konon, orang-orang Cina sisa-sisa prajurit Tartar itu terperangkap siasat yang dilancarkan oleh Aria Wiraraja sehingga mereka tidak bisa kembali lagi ke negara asalnya.
Dikisahkan, pasukan Jokotole Sumenep kembali terjadi perang dengan pasukan Cina, pimpinan Dempo Awang pada abad ke 15. Dan akibatnya serangan Dempo Awang itu banyak orang dari Cina bertebaran di Pulau Madura utamanya di Sumenep
Cina pendatang itu umumnya menganut Konghucu atau Budha. Namun, belakangan banyak berpindah ke agama Katolik dan Protestan karena alasan-alasan strategis pragmatis, seperti keamanan dan ketenteraman, utamanya dalam berbisnis. Akibatnya orang keuturunan itu kerap tidak dusukai dan dimusuhi oleh penduduk setempat yang telah memeluk Islam. Untuk itulah masyarakat pendatang Cina itu lebih suka dan bertahan di perkotaan karena merasa lebih aman dan lebih mudah melakukan aktivitas ekonomi. Diakui, wrga keturunan Cina itu sangat gigih dalam berniaga, hampir di seluruh perkotaan Madura orang-orang Cina menguasai ekonomi dan pasar strategis yang berpusat di kota.
Fakta itu setidaknya bisa dipahami secara jamak. Namun, suatu hal yang cukup unik, bahwa masyarakat Cina yang bermukim di Pasongsongan sudah menjadi Muslim, dan hidup di perkampulan muslim, berbaur dan berasimilasi dengan masyarakat Muslim setempat. Sebuah pertanyaan mungkin akan muncul, mengapa orang-orang Cina bisa hidup di kampung yang jauh dari perkotaan? Lalu mengapa juga mereka beragama Islam, padahal pada umumnya orang-orang Cina beragama Konghucu?