Konon kabarnya, pada waktu tempo dulu di wilayah Arjasa Kangean dan sekitarnya banyak hewan ternak yang mati dan hasil pertanian gagal panen. Bahkan, segala macam penyakit dan wabah menimpa warga, sehingga menurut tokoh-tokoh dahulu menilai wabah dan gagal panen yang mereka alami ada penyebabnya, yaitu roh halus dan jahat bergentayangan diwilayah mukim mereka. Bermula dari hal itulah, petuah sesepuh desa setempat menyarankan agar menggelar kerapan kerbau seperti yang digelar warga saat ini kala musim tanam dan panen padi tiba.
Jejel dan Lomba
Ada dua peristiwa yang dilakukan lomba kerbau ini, pertama jejel, pralomba yang dimaksud sebagai latihan ketangkasan kerbau yang nantinya akan diadu dalam lomba. Jejel harfiah dalam bahasa Madura; dicoba, biasanya dilakukan menjelang atau pada saat tanam padi. Pada saat itu masyarakat (yang punya kerbau) telah menyiapkan diri pasangan kerbaunya untuk diadu dalam lomba.
Sedang peristiwa kedua, yaitu pada lomba kerbau sendiri yang dilakukan pada saat setelah panen tiba. Hal ini sekaligus sebagai pesta panen dengan segala kemeriahannya. Kemeriahan tersebut tidak sebatas suasana peristiwa, juga termasuk asisoris kerbau dan kelompok pengiringnya. Para pengiring dengan menggunakan pakaian-pakaian yang dianggap mewah dan katagori mahal. Seperti sarung dan busana lainnya, sebagai bentuk suka cita ditengah medan lomba, dengan musik tradisi semacam saronen (Madura) diarah sampai tempat kerapan atau lomba.
Dalam peristiwa lomba tidak ada pengundian siapa lawan siapa, namun dilakukan atas dasar batas wilayah di desa (biasanya dibatasi wilayah barat dan wilayah timur) wilayah kecamatan. Untuk itu ketika lomba akan berlangsung sudah disepakati dua kubu tersebut akan bersaing. Ada satu etika (aturan) untuk masuk ke medan lomba, satu pihak ke pihak yang lain dengan bahasa menantang seorang wakil dari kubu berucap bahwa dia akan berbesan dengannya. Makna berbesan atau besanan diartikan sebagai lawan atau musuh.
Menjelang lomba berlangsung sepasang kerbau disiapkan di garis start lengkap dengan salage (alat bajak tradisional), sedang musik tradisi saronen menggema mengantar pasang kerbau yang akan berlaga. Suasana pada saat itu cukup hiruk pikuk, para joki kuda telah bersiap menggiring pasangan kerbau tersebut sampai finish. Sedang para pengunjung bersiap-siap dengan alat pukul untuk memacu pasangan kerbau masing-masing.
Lomba Kerbau sangat bagus, di samping untuk memupuk kecintaan terhadap binatang yang punya nilai ritual (misal di Solo dikenal Kebo kyai Selamet, di Pati dikenal Kebo Landoh), di Zaman Kerajaan dipakai nama-nama orang kuat (Kebo Marcuet, Kebo Anabrang, Maeso Wongateleng). Kudus Kerbau menjadi daging pilihan karena ada mitos tidak boleh menyembelih Sapi.
Mestinya pemerintah jangan hanya menetapkan kebijakan swasembada daging, karena pemikiran orang yang dimaksud daging hanya daging Sapi. Seharusnya swasembada protein hewani. Jadi semua binatang bisa dikonsumsi, kecuali yang dilarang oleh agama.
Semoga pendapat saya ini bisa dijadikan masukan pemerintah.