Jurus Ombak dan Angin; Komunikasi Politik Si Pencari Ikan

Realitas Tersebut Melahirkan Suasana Psiko-Antropologis

pada masyarakat Madura sebagai masyarakat ‘di bawah”, di bawah kekuasaan, di bawah pengaruh, di bawah perlingungan, di bawah ketentuan entitas etnik yang lain. Masyarakat yang “di bawah” adalah masyarakat yang hampir tidak mendapatkan porsi “ikan”, kehormatan. Maka kehormatan kemudian menjadi barang yang mahal, dalam prosesnya kemudian menjadi barang yang di cari, bahkan menjadi tujuan, menggeser tujuan-tujuan yang lain. Perjalanan mencari “ikan” dengan demikian adalah sebuah perjuangan panjang untuk keluar dari sindrom “di bawah” hingga mendapatkan kehormatannya menjadi sama­sama “di tengah” atau bila mungkin “di atas”.

Masyarakat pencari ikan adalah masyarakat yang kosmologis. Masyarakat yang yang sangat dekat dan bersahabat dengan alam. Bahkan dalam konteks tertentu senantiasa berkomunikasi dengan alam, mencari petunjuk dari alam. Berlayar mencari ikan harus melihat musim. Setidaknyanya memahami astronomi tradisional. Nelayan dengan sabar akan menunggu perhitungan astronomi, musim dan alam untuk berlayar mencari ikan. Tidak sembarangan, tidak bisa semaunya. Ngemong alam, ngemong musim. Masyarakat pencari ikan adalah masyarakat yang bekerjasama dengan alam, tahu kapan waktunya berlayar dan kapan waktunya berlabuh. Kapan waktunya menunggu dan kapan waktunya menabur jaring.

Maka jika akhir-akhir ini masyarakat Madura sedang dihebohkan dengan upaya sejumlah pihak untuk menjadi sebuah provinsi mandiri yang terpisah dari Jawa Timur, semua itu sesungguhnya hanyalah salah satu bentuk ekspresi Si Pencari Ikan untuk sama­sama “di tengah”.

Berpolitik bagi masyarakat Madura dengan demikian adalah salah satu bentuk ekspresi untuk mencari dan mendapatkan “ikan”. Menjadi eksekutif, legislatif atau bahkan sekedar datang memberikan suara pada saat pemilihan dengan segala pergesekannya adalah sebuah upaya Si pencari Ikan untuk mendapatkan “ikan”nya, kehor matannya. Menjadi bupati, anggota DPR, tim sukses, pemilih bukanlah “ikan” tapi hanya perahu dan jaring untuk mendapatkan ikan. Masyarakat pencari ikan dengan demikian akan berkomunikasi politik sebagaimana ombak dan angin. Dimana makna kosmologisnya akan dijelaskan kemudian.

Ombak dan Angin

Lantas bagaimana kita menjelaskan terma kosmologis “ombak”? Kira­kira begini.Menurut Mbah Wikipedia[6], pembahasan mengenai gelombang dalam oseanografi secara umum dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu gelombang permukaan dan gelombang internal. Gelombang permukaan adalah fenomena yang akan kita temui ketika mengamati permukaan air laut, dan biasa disebut sebagai ombak. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya ombak adalah hembusan angin, disamping ada pula faktor lain seperti pasang surut laut yang terjadi akibat adanya gaya tarik bulan dan  matahari.

Sementara Angin seperti juga dikatakan oleh Mbak Wikipedia[7] merupakan udara yang terjadi dan terus bergerak karena rotasi bumi serta adanya perbedaan tekanan udara di sekitarnya. Tidak jauh berbeda dengan air, angin selalu melakukan pergerakan dari suatu tempat yang memiliki tekanan udara tinggi menuju tempat bertekanan udara rendah.

Udara akan mengalami pemuaian jika dipanaskan, hal ini menyebabkan udara yang memuai tersebut menjadi lebih ringan sehingga naik. Ketika hal ini terjadi, maka akan terjadi penurunan tekanan udara sebab udaranya berkurang. Yang kemudian udara dingin yang ada di sekitarnya menuju pada tempat yang bertekanan rendah tadi. Udara mengalami penyusutan sehingga massanya lebih lebih berat dan turun menuju tanah. Saat berada di atas tanah, udara akan kembali panas dan naik. Pertukaran antara naiknya udara panas serta turunnya udara dingin inilah yang kita sebut dengan konveksi.Angin, kecepayannya akan bergantung pada perbedaan tekanan udara diantara tempat dimana angin tersebut berasal, dengan tujuan serta dan resistensi medan yang akan dilalui angin.[8]

Masyarakat Madura adalah Si Pencari Ikan yang berbantalkan Ombak dan berselimutkan Angin. Luar biasa, sebuah masyarakat yang bahkan dalam tidurpun terus bergelombang terus bergerak. Masyarakat yang tidak membiarkan dirinya terlena untuk istirahat bahkan tidur. Masyarakat yang selalu waspada terhadap segenap stimuli darai luar. Sehingga menjadi amat lentur dalam  melakukan adaptasi laksana sifat angin dan cepat dalam mengambil tindakan. Sebagaimana nelayan mengendalikan ombak di tengah lautan.

Sebagaimana disepakati oleh hampir semua intelektual melalui berbagai telisik dan penelitiannya, orang Madura bekerja laksana Ombak dan Angin, tak kenal henti, tak kenal lelah. Tidak takut menghadapi gelombang kehidupan seganas apapun di perantauan (karena ombak adalah bantalnya), dengan etos kerja yang tinggi dan keuletannya orang Madura selalu bisa survive hidup di manapun.[9]

Dalam konteks dan titik tertentu orang Madura tidak sekedar berbantaal Ombak dan berselimut Angin, tapi akan menjelma menjadi Ombak dan Angin itu sendiri, dan menghantam kekuatan dari luar manapun yang dianggap mengusik eksistensi dirinya, pelecehatn terhadap rasa kemaduraan mereka. Apalagi jika berkenaan dengan martabat dan harga diri. Bekenaan dengan rasa malu. Sikap keras dan tegas orang Madura yang seringkali terepresentasi menjadi carok, sesungguhnya hanyalah sebuah feed back dari stimuli kekuatan ekternal (external conditions).[10] Sebagaimana penjelasan fisika tentang terjadinya Ombak dan Angin di atas,yang lebih disebabkan oleh faktor-faktor dari luar seperti angin atau daya tarik bulan dan matahari pada proses terjadinya Ombak dan pengaruh rotasi bumi serta tinggi rendahnya tekanan pada proses terjadinya angin.

________________________________

[1] Lihat De Jonge , 1989: 44­45
[1] Lihat Babad Tanah Madura : 25­35
[1] Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Ombak
[1] Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Angin
[1] Lihat http://assharrefdino.blogspot.co.id/2013/11/normal­0­false­false­false­in­x­none­x_ 6515.html

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.