Jurus Ombak dan Angin; Komunikasi Politik Si Pencari Ikan

Rindu Kepatuhan

Ombak dan Angin orang Madura hanya bisa dikendalikan oleh tiga kekuatan, yakni bhuppa’ bhabhu’, ghuru dan rato. Sebuah hierarki kepatuhan orang madura terhadap orang tua, guru (ulama/kyai) dan pemimpin formal atau birokrasi.[11] Artinya dalam kehidupan sosial budaya orang Madura terdapat standard referensi kepatuhan terhadap figur­figur utama secara hierarkhial. Sebagai aturan normatif yang mengikat setiap orang Madura maka pelanggran atau paling tidak melalaikan aturan itu akan mendapatkan sanksi sosial sekaligus kultural. Belum lagi adanya sebuah sosok blater yang memiliki kekuatan pemaksa untuk membuat orang Madura menjadi patuh.[12]

Maka meskipun orang Madura adalah Ombak dan Angin yang dalam ttitik tertentu bisa melindas kekuatan apapun, faktanya dalam senarai kehidupannya (dalam segala dimensi), orang Madura senantiasa dituntut untuk patuh dan patuh. Patuh pada orang tua, ulama/kyai, penguasa/birokrasi dan bahkan harus patuh (terpaksa) kepada blater. Sebuah kontradiksi psikis yang dalam titik tertentu menjadi amat sulit bagi kita untuk menjelaskan berbagai perilaku orang Madura. Bergerak ke atas dan bawah ke kiri dan ke kanan seperti Ombak dan Angin, dari satu titik ekstrim yang satu ke titik ekstrim yang lain. Pada titik tertentu orang Madura bisa menjadi orang yang amat sangat patuh, tapi pada titik yang lain bisa menjadi pemberontak yang amat menakutkan sebagaimana Trunojoyo, Sakera[13] dan tokoh-tokoh lainnya.

Pada titik tertentu bisa menjadi amat sangat baik (terutama saat menjamu tamu), tapi pada kesempatan yang lain bisa menjadi sangat brutal seperti yang tercermin dalaam berbagai peristiwa carok. Pada titik tertentu bisa menjadi amat lemah lembut seperti angin spoi-spoi atau gemericik air pantai, tapi dititik yang lain bisa menjadi sangat keras bahkan kasar sebagaimana tsunami dan puting beliung, seperti yang kita saksikan dalam berbagai peristiwa konflik dan kriminal yang melibatkan orang Madura.

Kondisi psiko sosial­budaya yang membuat orang Madura harus selalu patuh dan patuh pada tiga atau empat hierarki kepatuhan tersebut, dengan sendirinya juga melahirkan kontradiksi psikis dalam batin masyarakat Madura. Dibalik kepatuhan yang harus dipegang erat, ada sebuah kerinduan untuk “dipatuhi”. Dan satu­satunya jalan untuk bisa menjadi “dipatuhi” tentu saja harus masuk dalam lingkaran hierarkhi kepatuhan itu.

Hierarkhi pertama adalah patuh kepada orang tua. Maka agar bisa menjadi sosok yang “dipatuhi”, jalannya adalah menjadi orang tua, menikah dan memiliki anak. Maraknya perkawinan usia dini dan poligami di Madura barangkali adalah salah satu bentuk penjelasan yang mungkin simplistis, disamping faktor sosial budaya dan religi yang mendorong maraknya fenomena tersebut di Madura. Sebuah kerinduan untuk “dipatuhi” oleh anak, cucu, keluarga besar yang dalam konteks sosiologis tertentu bisa dijelaskan sebagai bentuk kerajaan terkecil di Madura.

Hierarkhi kedua adalah patuh kepada ulama/guru. Ini bukan hanya soal adabiah sebagaaimana lazim diajarkan dalam berbagai tarekat salafi. Kewajiban patuh pada ulama/kyai pada masya rakat Madura pada saat bersamaan juga melahirkan harapan untuk menjelma menjadi ulama atau kyai yang memiliki legitimasi untuk dipatuhi. Maka, sulit sekali (untuk mengatakan tidak ada) menemukan orang Madura yang tidak bisa mengaji (membaca Al Qur’an), sholat atau kewajiban-kewajiban syariat agama Islam lainnya.

Orang-orang tua di Madura punya harapan besar pada anak-anaknya untuk menjadi ulama dalam tingat sekecil apapun, sehingga tradisi mengirim anaknya belajar di berbagaai pesantren, adalah sesuatu yang lazim kita temui. Diakui sebagai muslim yang taat adalah sebuah nilai yang penting dalam masyarakat Madura. Dan ini tercermin dalam berbagai bentuk, termasuk arsitektur tradisional Madura, yang selalu menempatkan surau (tempat sholat) di tempat palaing depan dari seluruh bagian rumah[14]. Tanpa mengesamapingkan penjelasan sosial-religi, fenomena tersebut sesungguhnya juga bisa dimaknai sebagai bnetuk kerinduan orang Madura untuk “dipatuhi”, dengan menjadi ulama.

Hierarki ketiga adalah patuh pada penguasa atau birokrasi. Ini bukan hanya soal tujuan kepastian dan kemapanan hidup. Dalam darah pelaut dan pedagang Madura pelan tapi pasti kita jumpai fenomena masyarakat Madura yang semakin hari semakin tertarik untuk masuk dalam dunia birokrasi. Semakin tahun jumlah masyarakat Madura yang berbondong-bondong ikut test menjadi pegawai negeri semakin banyak. Dalam pemilihan kepala daerah di empat kabupaten di Pulau madura (sejak reformasi), kita mulai jumpai calon-calon kepala daerah yang memberanikan diri ikut berkompetisi sekalipun kompetitornya adalah sosok Kyai. Tanpa mengesampingkan penjelasan ekonomi-politik ini bisa juga kita maknai sebagai bentuk penjelasan kerinduan orang Madura, untuk dipatuhi, dengan menjadi penguasa atau birokrat.

Dan ketika ketiga hierarkhi kepatuhan itu terasa sulit untuk dimasuki tau didapatkan, maka alternatifnya adalah memiliki kekuatan pemaksa untuk “dipatuhi”, dengan cara menjadi blater. Masuk dalam logika dan tradisi jagoan ala blater. Belajar berbagai ilmu beladiri, ilmu senjata dan ilmu kanuragan lainnya menjadi tuntutan logis bagi upaya mendapatkan legitimasi blater ini. Sesuatu yang lazim kita jumpai pada masyarakat  Madura sebagai sebuah bentuk kerindun untuk “dipatuhi”.

Orang Madura yang melakukan tindakan kekerasan, dalam bentuk carok untuk membela harga diri dan kehormatan, baik kerena dipicu oleh kasus-kasus di atas atau yang sejenisnya akan dinilai, dan dipandang memiliki keberanian sebagai seorang blater. Orang Madura yang mengambil jalan ‘toleran’, bukan tindakan carok ketika dihadapkan dengan kasus-kasus pembelaan harga diri seperti di atas akan dipandang oleh masyarakat Madura sebagai orang atau keluarga yang tidak memiliki jiwa keblateran. Banyak kasus menunjukkan di dalam masyarakat, yakni seseorang yang sebelumnya dipandang bukan sebagai golongan blater, disebut sebagai blater oleh warga lainnya karena berani melakukan carok. Apalagi menang dalam adu kekerasan carok itu. Jadi penyebutan masyarakat atas sosok blater dalam hal ini sangat erat kaitanya dengan keberanian melakukan carok dalam menghadapi konflik dan permasalahan di dalam lingkungan masyarakat. [15]

Di sini carok dijadikan sebagai arena legitimasi untuk mengukuhkan status sosial seseorang sebagai seorang blater. Jadi identitas keblateran dapat merujuk pada sifat pemberani, angkuh dan punya nyali menempuh jalur kekerasan dalam penyelesaian konflik harga diri. Meskipun carok bukanlah satu-satunya arena untuk melegitimasi status seseorang menjadi blater. Masih banyak arena sosial lainnya yang membentuk dan memproses seseorang menjadi blater. Misalnya, kedekatan seseorang dengan tradisi kerapan sapi, sabung ayam, jaringan kriminalitas dan remoh blater. Begitulah antara lain reproduksi kultural blater di masa kini. Dinamika yang berlangsung menciptakan kultur dan komunitas tersendiri di dalam masyarakat Madura. Tak heran bila seseorang sudah memiliki identitas dan status sosial sebagai seorang blater eksistensinya memiliki posisi sosial tertentu di dalam masyarakat Madura. Sosok blater selalu disegani dan dihormati secara sosial. Sangat jarang sekali ditemukan seseorang yang sudah dikategorikan sebagai blater dipandang rendah secara sosial. 17

Dan simpulan (simplistis mungkin) dari kerinduan untuk “dipatuhi” adalah Ikan. Kerinduan untuk “dipatuhi” adalah kerinduan untuk “dihormati”. Hierarkhi kepatuhan adalah salah satu jalan untuk mendapatkan kehormatan. Ikan yang tengah dicari oleh Si Pencari Ikan.

_____________________________________

[1] Lihat Rifai, 2007:347
[1] Lihat bagaimana Wiyata, 2013:6­7 mengupas tentang reaksi orang madura dalam berbagai konflik.
[1] Ibid hal 30-35
[1] Sosok Blater adalah sosok jagoan yang memiliki legitimasi nya sendiri di dalam kehidupan orang Madura. Dimana dengan legitimasi kekuatan dan kesaktiaannya itu dia menjadi memiliki kekuatan pemaksa untuk membuat orang-orang disekitarnya patuh kepadanya. Lihat Rozaki http://kyotoreview.org/issue­11/social­origin­danpolitik-kuasa-blater-di-madura/
[1] Lihat Putut Handoko 2004 dan Rozaki 2009
[1] Lihat      Maharani                 http://elearning.upnjatim.ac.id/courses/PERANCANGANARSITEKTUR 5/work/tugas_1/4e7be10dbfac0Perancangan_Arsitektur_V.pdf
[1] Lihat Rozaki 2009: 2 17  Rozaki ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.